Maraknya politik uang menyebabkan rusaknya sistem demokrasi. Mereka yang terlibat politik uang cenderung akan ‘membalas budi’ kepada para pemodal ketimbang merealisasikan, menegakkan kepentingan, dan menyejahterakan rakyat.
Salah satu hasil Kongres Ulama Muda Muhammadiyah (KUMM) memutuskan, hukum politik uang adalah haram merujuk dari adanya analogi (qiyas) antara politik uang dan suap menyuap atau risywah.
Selain rekomendasi tentang politik uang, KUMM yang dilaksanakan di Jakarta, Rabu (31/1) lalu menyatakan bahwa umat Islam agar (1) tidak menyebarkan berita hoax; (2) melakukan politik uang; (3) pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan umat; dan (4) persatuan dan nasionalisme.
“Menghimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghindari segala bentuk money poltic (politik uang) karena merupakan bentuk penyuapan (risywah) untuk meraih jabatan. Perbuatan risywah mendapatkan laknat dari Allah SWT baik pemberi, penerima maupun perantara suap. Termasuk mendapat pekerjaan seperti PNS, polisi, tentara, dan lain-lain dengan cara suap,” ungkap Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Azhar Simanjuntak, dalam konferensi pers pernyataan hasil KUMM di Jakarta.
“Jabatan dan penghasilan gubernur, bupati dan walikota atau lainnya yang didapat melalui suap baik dalam bentuk mahar politik maupun menyuap pemilih adalah haram,” tambah Dahnil.
Dalam kompilasi laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2014-2017 yang dihimpun Majalah Gontor menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik seperti anggota dewan, walikota/bupati/wakil, hingga kementerian menunjukkan tren meningkat. Pada tahun 2014, misalnya, anggota dewan yang terkena perkara tindak pidana korupsi (TPK) yaitu 4 orang.
Perkara TPK pada tahun-tahun selanjutnya cenderung meningkat dengan 19 orang melakukan perkara TPK sepanjang 2015 dan 23 orang sepanjang 2016. Sedangkan sepanjang 2017 anggota dewan yang tertangkap oleh KPK mencapai 20 orang.
Menurut KPK, TPK terbanyak kedua terjadi di pemerintah kota maupun kabupaten dengan rataan 100 kasus sepanjang 2014-2017 setelah kasus serupa yang mendera lembaga pemerintah ataupun kementerian yang mencapai 117 kasus dalam periode yang sama.
Sedangkan pemerintah provinsi menduduki peringkat ketiga instansi dengan 59 kasus sepanjang 2014-2017.
KPK lantas mengategorikan jenis perkara, jabatan, dan instansi yang menyebabkan adanya TPK seperti: (1) pengadaan barang/jasa; (2) perizinan; (3) penyuapan; (4) pungutan/pemerasan; (5) penyalahgunaan anggaran; (6) tindak pidana pencucian uang (TPPU); dan (7) merintangi proses KPK.
Dari tujuh kategori kasus di atas, kasus penyuapan menjadi yang terbesar dengan 396 kasus sepanjang 2004-2017. Sedangkan korupsi terkait pengadaan barang dan jasa ada di peringkat kedua dengan 171 kasus.
Ketua KPK, Agus Raharjo, membenarkan bahwa terjadinya politik transaksional sebagai pintu masuk pertama maraknya tindakan korupsi di masyarakat. “Bayangkan saja, untuk menjadi bupati perlu sekian puluh miliar dan menjadi gubernur perlu sekian ratus miliar,” papar Agus.
Agus juga menyebutkan, maraknya politik uang juga berdampak langsung pada munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas yang berpihak kepada rakyat.
“Hari ini keadilan dalam demokrasi juga belum kita dapatkan. Seseorang yang sangat kompeten dan sangat berintegritas, namun tidak punya uang akan sangat sulit menjadi pejabat publik seperti bupati, walikota atau gubernur. Mengingat biaya yang sangat besar.
Senada dengan Agus, pengamat politik LIPI, Siti Zuhro, mengatakan efek dari terjadinya politik uang telah membuat setiap calon kepala daerah tersandera untuk ‘balik modal’ ketimbang merealisasikan janji-janji politik saat kampanye serta menafikan keberpihakan mereka kepada masyarakat jika terpilih.
“Dengan adanya model uang pencalonan (inilah) yang membuat calon terbaik dan berkarakter itu tak muncul. Dan ini menunjukkan uang adalah segalanya,” kata Siti Zuhro.
Sementara itu, mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, menegaskan, penggunaan mahar politik merupakan bentuk dari politik transaksional. Busyro menyebut pelaku tindakan politik transaksional sebagai orang yang tidak bermoral (amoral).
“Praktik ‘mahar’ dari calon kepada daerah hingga presiden kepada partai politik pengusungnya itu menunjukkan praktik demokrasi transaksional. Karena transaksional, yang terjadi adalah kuat-kuatan dan praktiknya menjadi liberal,” ungkap pria yang juga merupakan ketua PP Muhammadiyah bidang hukum dan HAM itu.
Busyro juga menegaskan, selama praktik politik uang terus dijalankan, maka penggerusan dan pelecehan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus konstitusi bangsa akan terus terjadi.
“Elite-elite politik yang menang dengan cara-cara transaksional seperti itu ketika menjabat, dengan mudahnya berpidato sok Pancasila dan NKRI. (Padahal) dalam waktu yang sama sangat mudah menuduh orang lain antipancasila, anti-NKRI. Sementara, kursi yang mereka duduki diperoleh dengan cara-cara tidak pancasilais,” ujar Busyro.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menilai, maraknya kasus politik uang di setiap pesta demokrasi seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, hingga pemilihan presiden, telah menunjukkan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia menurun.
Din menjelaskan, politik uang, dominasi pemodal dan potensi konflik di setiap pergelaran pilkada merupakan tiga hal yang mencederai semangat demokrasi.
“Maka sebenarnya kualitas demokrasi kita menurun. Jika seperti itu (politik uang, dominasi pemodal), (maka sebetulnya menunjukkan bahwa) landasan budaya bangsa ini belum cukup siap dalam berdemokrasi dan melakukan perubahan,” jelas Din Syamsuddin.
Meski demikian, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut juga mengatakan bahwa segala bentuk pelanggaran pilkada perlu ditangani serius oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjaga stabilitas kondisi di masyarakat.
“Apa yang terjadi itu, kualitas penegakan hukum dan hukumnya sendiri harus tegas.”
“Pemilu harus kita pandang sebagai cara beradab untuk menghindari ketidakadaban dan beradab untuk menghindari kebiadaban,” pungkas Ketua Dewan Pembina Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.[]