Berdiri di wilayah merah eks-PKI, Pondok Pesantren Al-Munawwarah berperan penting dalam menjaga eksistensi dakwah di wilayah Brondong, Lamongan. Kondisi masyarakat pesisir pantai pun tak pelak menjadi tantangan sendiri bagi eksistensi pesantren di wilayah pantai utara Jawa tersebut.
Antusiasme masyarakat terhadap pendirian masjid jami’ pada tahun 1946 di Kelurahan Brondong, Lamongan, Jawa Timur, rupanya menginspirasi banyak hal. Mulai dari sekedar ibadah shalat berjamaah sehari-hari hingga pendirian lembaga pendidikan al-Qur’an yang menyasar anak balita hingga dewasa didirikan demi mengakomodasi antusiasme masyarakat terhadap materi-materi keagamaan.
Kantor Urusan Agama (KUA) Brondong pun mengubah nama Masjid Jami’ tersebut pada tahun 1970 dengan nama Al-Munawwarah yang berarti “mencerahkan”. KUA Brondong pun berharap, di masa mendatang, masjid tersebut dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat sekitar atau daerah yang lebih luas.
Walhasil, menjaga pola pendidikan keagamaan masyarakat menjadi suatu pemikiran penting. Maka pendirian sebuah pondok pesantren menjadi salah satu hal yang diinisiasi oleh masyarakat setempat. Sejumlah muhsinin rela mewakafkan hartanya demi membantu pendirikan pondok. Pada tahun pertama pendirian, para pendiri menerima wakaf tanah seluas 2.900 m2 yang terletak di Dusun Jompong tepat di belakang kantor Telkom Brondong.
“Di lokasi inilah Pondok Pesantren Al-Munawwarah baru dengan sistem 24 jam mondok dengan mengadopsi kurikulum ‘Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo ditambah program tahfidzul Qur’an,” ungkap Pimpinan Pondok Pesantren Al-Munawwarah, Brondong, Lamongan, Ahmad Hasan Al-Banna, kepada Majalah Gontor.
“Sekalipun berjarak 1,5 KM, nama pesantren yang didirikan itu dibuat sama dengan masjid jami’ tersebut yakni Pondok Pesantren Al-Munawwarah,” tambah Ustadz Hasan.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Ponpes Al-Munawwarah mengonsentrasikan kegiatan pembelajaran selama 24 jam dengan sistem asrama. Ponpes Al-Munawwarah juga menganut sistem KMI Pondok Modern Darusssalam Gontor Ponorogo yang dikombinasikan dengan hafalan Al-Qur’an dan berorientasi ke arah pendidikan modern. “Kami menargetkan program tahfidzul Qur’an 2 juz setiap tahun bagi setiap santri,” imbuhnya.
Pendirian pesantren ini disambut antusias masyarakat. Tidak hanya dalam bentuk bantuan moril, bantuan materiil mulai dari wakaf tanah, alat bangunan, dan lain-lain terus mengalir. Terlebih, catatan sejarah daerah yang dikenal sebagai ‘wilayah merah’ di Pantura telah membuat masyarakat mengapresiasi betul kehadiran Pondok pesantren pertama yang berdiri di Kecamatan Brondong tersebut.
Potret masyarakat Brondong merupakan potret masyarakat khas pesisir laut yang mengenal dikotomi santri dan abangan. Ustadz Hasan menjelaskan, hubungan antara kelompok masyarakat abangan dan santri di Brondong bergerak dinamis seiring dengan perubahan sosial yang terjadi. Pun dengan hubungan antara dua ormas besar, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, yang dapat berjalan beriringan. Bahkan, Brondong menjadi basis dakwah kedua ormas tersebut.
Sejak beroperasi pada tahun 2015, jumlah santri Ponpes Al-Munawwarah menunjukkan grafik peningkatan. Pada tahun pertama, misalnya, santri Ponpes Al-Munawwarah berjumlah 4 orang. Pada tahun kedua 12 orang, tahun ketiga 36, tahun keempat 66, dan terkini, tahun kelima, 99 orang. Sementara guru dan tenaga pengajar Ponpes Al-Munawwarah berjumlah 20 orang.
“Santri Ponpes Al-Munawwarah berasal dari masyarakat sekitar Brondong, Lamongan. Namun, dalam 2 tahun terakhir, ada santri dari Tuban, Gresik, Surabaya, Kalimantan, dan Papua,” jelas alumnus Gontor tahun 2000 itu.
Sarana dan prasarana di Ponpes Al-Munawwarah antara lain Masjid Qatar, Gedung Saudi yang diperuntukkan sebagai asrama dan kantor Pengasuhan Santri, Gedung Mesir sebagai ruang belajar dan kantor KMI, Gedung Palestina sebagai perpustakaan, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, koperasi dan kantin.
“Kelebihan pesantren yaitu sistem pendidikan 24 jam. Kiai dan guru sebagai public figure. Sedangkan adab menjadi salah satu pendidikan utama dalam pendidikan pesantren,” ucapnya.
Selain kegiatan pembelajaran, Ponpes Al-Munawarah juga menyiapkan sejumlah kegiatan ekstrakurikuler. Sebut saja misalnya Tahfidzul Qur’an, Kepanduan Pramuka, Persimu (Persatuan Silat al-Munawwarah), Persamu Gymnastic (Persatuan Senam al-Munawwarah), pidato tiga bahasa (Arab, Inggris dan Indonesia), bercocok tanam, Type Writing Course (TWC), komputer, kaligrafi dan kesenian. Selain itu, ada pula kegiatan-kegiatan olahraga seperti sepakbola, futsal, takraw, voli, basket hingga berenang.
Khusus ekstrakurikuler tahfidzul Qur’an dilaksanakan setiap usai shalat Shubuh dan sore setelah shalat Ashar. “In syaa Allah (kegiatan tahfidzul Qur’an) tidak mengganggu kegiatan KMI ataupun kegiatan ekstrakurikuler lainnya,” katanya.
Bagi Ustadz Hasan, model pendidikan mu’allimin memberikan sejumlah kelebihan, yaitu: pembelajaran tidak menitikberatkan aspek kognitif tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Di saat yang bersamaan, sistem mu’allimin tidak hanya mencegah kecerdasan otak, tetapi juga mengasah keterampilang tangan, kekuatan mental hingga kecerdasan spiritual.
Walau berusia muda, inovasi kemandirian Pesantren Al-Munawwarah terbilang unik dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang berasal dari Lamongan. Selain membuka koperasi yang memenuhi kebutuhan santri, Ponpes Al-Munawwarah juga menyediakan makanan seafood yang dipasarkan secara online dengan merek dagang OTAMU singkatan dari Oseng Tuna Munawwarah.
“Kami menjual makanan seafood khas pantura dan telah dipasarkan secara online yaitu OTAMU, sambal cumi, sambal ikan, kripik sunduk,” paparnya.
Ustadz Hasan pun mengapresiasi pengesahan Undang-Undang Pesantren yang ia nilai sebagai hal yang positif demi eksistensi serta pengakuan terhadap sistem pesantren di Indonesia. Terkhusus, melalui undang-undang tersebut, pesantren bisa tetap hidup dengan ciri khas dan kemandiriannya masing-masing.
Tak bisa dipungkiri, keinginan masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren semakin hari semakin meningkat. Di lain sisi, pesantren menyajikan pola pengawasan dan pendidikan selama 24 jam penuh.
“Mengingat kondisi di luar yang susah dikendalikan seperti pergaulan bebas, narkoba dan penyalahgunaan handphone, telah membuat animo masyarakat semakin meningkat,” pungkasnya. [] Mohamad Deny Irawan