Oleh Ulfatun Wahidatun Nisa, Mahasiswi Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor
Pertanyaan:
Untuk mewujudkan cita-citanya, setiap Muslim perlu berusaha dan tawakkal kepada Allah SWT. Mohon dijelaskan, makna tawakkal serta dalilnya dalam pandangan Islam!
Jawaban:
Sebelum menjawabnya, mari kita simak sebuah hadis berikut: “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, pasti Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikannya kepada burung-burung. Mereka berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”(HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dalam 99 Asmaul Husna, kita mengenal salah satu sifat Nya ialah yang Maha Memberi Rezeki (Ar Rozaq).
Arti dari kata Maha sendiri ialah kekuatan tanpa adanya tandingan yang lain. Jadi, bila diartikan keseluruhan, Allah ialah Zat yang memberi rezeki tanpa adanya satu tandingan pun. Jika kita kaitkan dengan logika alam, ada kaya pasti ada miskin, ada baik ada pula buruk, ada tinggi pasti ada rendah. Dalam hal ini siapakah yang diberi rezekinya oleh Allah? Tentu saja segala makhluk di langit dan di bumi, yang tampak dan tidak tampak oleh kita.
Namun mari kita kiaskan hubungan antara kita dan Allah sebagai hamba dan Tuan. Kita adalah hamba (‘Abd) dan Allah adalah pemilik hamba. Selayaknya orang yang menghamba kepada majikan, agar mendapat upah atau balasan dari pekerjaan yang dilakukan hendaknya si hamba mengerjakan perintah majikan dengan penuh kesungguhan, sepenuh hati dan sebaik baiknya pekerjaan.
Bila ini dilaksanakan dengan baik, sudah barang tentu sang majikan akan membalasnya dengan baik pula, dan rela hati. Namun sebaliknya, apabila si hamba hanya merengek, bermalas malasan dan berkeluh kesah saja demi meminta sesuatu dari sang majikan, alih-alih mengabulkan apa yang diminta, bisa saja si majikan akan meninggalkannya, dan walaupun diberikan mungkin akan dengan berat hati mengabulkannya. Inilah yang dimaksud dengan ikhtiar, pengiasan di atas tadi bisa direfleksikan dengan hubungan antara kita dan Allah.
Bagaimana mungkin Allah memberi rezeki tanpa kita yang menjemputnya, tanpa kita yang mengusahakannya.
Tidak cukup hanya berkeluh kesah saja, hanya meminta saja dalam doa tanpa dibarengi dengan usaha. Ikhtiar sekeras mungkin lalu serahkan apapun hasilnya kepada Allah dengan tawakkal.
Dalam hadis lain disebutkan terkait rezeki yang Allah berikan kepada seekor burung. Burung keluar mencari makan di pagi hari, makhluk yang hanya mengandalkan insting tanpa akal seperti manusia, harus berusaha mencari rezeki dengan mendatangi sumber-sumber di mana ia menemukan makanannya. Ia tidak berdiam diri saja, tidak bermalas-malasan tanpa keluar rumah.
Lalu bagaimana manusia sebagai makhluk paling sempurna dan berakal “terlampaui” oleh seekor burung? Maka, tidak bisa diterima alasan dengan dalih hadis ini sebagian orang kemudian tidak berbuat apa-apa, lalu mengharap rezekinya turun dari langit, nasibnya berubah tanpa kerja keras, atau akalnya menjadi cerdas tanpa belajar.
Menurut Imam al-Baihaqi dalam Al–Jami’ Li Syu’abil Iman, tawakkal merupakan kewajiban seorang mukmin dan menjadi salah satu pertanda eksistensi iman di dalam hatinya. Di antara 77 cabang iman yang beliau uraikan dalam kitab tersebut, tawakkal adalah cabang ke-13. Ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya kedudukan tawakkal dalam akidah seorang Muslim. Namun, karena tawakkal merupakan hakikat yang abstrak, ia sangat sering disalahpahami, yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang salah pula.
Dilihat dari segi bahasa, istilah tawakkal berasal dari kata al–wakalah, yaitu penyerahan dan penyandaran. Orang ber-tawakkal kepada yang lain ketika hatinya merasa tenang dan percaya kepada yang disandarinya itu, tidak ragu, tidak curiga akan berbuat sembrono, dan tidak melihat adanya kelemahan maupun cacat padanya.
Sedangkan menurut istilah syariat, tawakkal adalah percaya (tsiqah) kepada apa yang ada di sisi Allah dan tidak mengharapkan apa yang ada di tangan selain-Nya, termasuk sesama manusia.
Atas dasar ini, seorang Mukmin sepenuhnya percaya bahwa rezekinya, nasibnya, bahkan hidup dan matinya pada hakikatnya adalah dijamin oleh Allah; bukan oleh bos, atasan, majikan, suami, direktur, komandan, atau siapa pun yang lain; bukan pula oleh pabrik, lembaga pendidikan, bisnis, titel, pekerjaan, jabatan, atau apa pun yang lain.
Alhasil, setiap kali ia mendapat gaji, bonus, dan rezeki maka seketika hatinya akan tersambung dan berterima kasih kepada Allah, bukan kepada yang lain. Karenanya pula ia tidak pernah lupa berbagi dan bersedekah dengan sebagian darinya, sebagai ekspresi syukur kepada Allah Sang Pemberi.
Keyakinan seperti inilah yang akan membuatnya berani dan tidak lembek. Ia takkan bisa ditekan untuk melakukan kemaksiatan oleh atasan maupun lembaga tempatnya bekerja, walau diancam akan dipecat jika menolak. Sebab, ia tahu bahwa rezeki datangnya dari Allah, bukan dari manusia. Prinsip serupa dipegangnya erat-erat dalam masalah jodoh, karier, pendidikan, dsb.
Dengan kata lain, mestinya tawakkal menjadi energi positif yang membangun dan menegakkan sikap, bukan racun yang menghancurkan dan melumerkan prinsip. Wallahu a‘lam.