Di kala Ramadhan tiba, waktu istimewa untuk berdoa semakin bertambah, seperti saat sahur, menunggu shalat, setelah shalat, dan menjelang ifthar.
Pandemi Covid-19 tak mematahkan semangat Muslim di seluruh dunia untuk bergembira ria menyambut Ramadhan. Sejak Rajab, dua bulan sebelum syahrus siyam, banyak dari mereka menggiatkan ibadah. Ada yang mulai berpuasa, menambah waktu shalat, dzikir, dan menghadiri majelis taklim.
Mereka seperti angin yang tertiup dari satu tempat ke lainnya, dari satu majelis dzikir ke zawiyah ilmu, dari masjid ke madrasah, dan dari rumah guru ke tempat ahli ibadah. Kemudian sampai ke bulan Sya’ban mereka lebih menggiatkan lagi ibadahnya. Sampai ke Ramadhan, mereka tancap gas beribadah dengan sepenuh hati, memanen rasa muraqabah, lebur (fana) dan mengekalkan sifat mulia beserta kejernihan hati, hingga cahaya ma’rifah bersinar di dalam kalbu.
Ramadhan bulan mulia berlimpah keistimewaan. Sepuluh malam pertama dipenuhi maghfirah. Sepuluh malam berikutnya dipenuhi kasih sayang Allah. Kemudian sepuluh malam terakhir menjadi momentum pembebasan dari api neraka (itqun minan nar).
Pada bulan inilah al-Qur’an diturunkan, bulan yang di dalamnya terdapat lailatul qadar, yaitu malam bertabur pahala. Jika beribadah pada malam itu, maka ganjarannya sama dengan beribadah selama seribu bulan (Surat al-Qadar ayat 1-5). Setara dengan 83 tahun plus empat bulan atau 720 ribu jam.
“Menyambutnya dengan sukacita saja sudah bernilai pahala dan memberi keistimewaan tersendiri, apalagi bila kita curahkan waktu kita untuk banyak beribadah. Sungguh ada banyak keutamaan akan didapat,” terang Ustadzah Aini Aryani Lc, pendakwah Rumah Fiqih Indonesia (RFI) kepada Majalah Gontor.
Bagi yang masih memiliki utang puasa wajib, maka diharuskan segera melunasinya. Dengan begitu, ia bisa tenang dan fokus mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dan mengamalkan berbagai amalan sunnah di bulan Rajab dan Sya’ban.
Persiapan Ramadhan
Untuk menyambut bulan penuh kasih sayang Allah, maka kaum Muslimin harus melakukan sejumlah hal. Pertama, membiasakan diri melaksanakan puasa sunnah. Ada puasa sunnah bidh, Senin-Kamis, atau sehari puasa, hari berikutnya berbuka, dan hari selanjutnya puasa lagi, dan begitu seterusnya. Ini adalah latihan membersihkan hati dengan menahan diri dari kenikmatan dunia. “Karena Ramadhan bulan puasa, maka dengan membiasakan puasa sunnah sejak bulan Rajab, kita akan terbiasa dan semakin khusyuk melaksanakan puasa Ramadhan,” terang Dr KH Ahmad Fauzi Tidjani MA, pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.
Karena terbiasa puasa, tubuh menyesuaikan diri menahan lapar. Detoksifikasi berlangsung: kotoran keluar dari badan dan lemak menjadi terbakar. Hati menjadi tenang. Syahwat terkekang. Produktivitas, kinerja, dan ibadah semakin meningkat. “Bukan justru menurun dengan alasan lemas karena puasa,” ujar putra ulama besar Tanah Air, Kiai Mohammad Tidjani Djauhari (1945-2007) dan Hj Anisah Fathimah Zarkasyi ini kepada Majalah Gontor.
Hal kedua yang perlu diperhatikan yaitu menyiapkan diri dari sisi keilmuan, dengan mendalami pengetahuan yang terkait dengan serba-serbi ibadah Ramadhan. Hal ini menjadi sangat mendasar, agar segala amal menjadi bernilai di sisi Allah.
Banyak orang berpuasa, tapi tidak menghasilkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Akhlaknya tak menjadi lebih baik. Hatinya masih menyimpan hasad, iri, dan dengki. Cinta dunia masih mendominasi dirinya. Kualitas ibadahnya biasa saja. Bahkan, dia tak merasakan kelezatan ibadah. “Hal ini disebabkan puasa yang dijalani tidak dilandasi ilmu yang cukup,” katanya.
Agar puasa berlandaskan ilmu, Kiai Fauzi menyarankan kaum Muslimin membaca sejumlah referensi yang mengupas keutamaan Ramadhan atau masalah seputar bahasan puasa yang ditulis para ulama klasik, misalnya Fathul Bari karya Ibn Hajar al-Asqalani, Zadul Ma’ad karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dan lain-lain.
Buku-buku yang juga mengupas permasalahan puasa misalnya Fiqh Puasa karya Syekh Yusuf al-Qardhawi, Durus Ramadhaniyyah karya Syekh Salman bin Fahd al-Audah, Sifat Puasa Nabi karya Syekh Salim bin Ied al-Hilali dan Syekh Ali Hasan.
Selain membaca buku, ilmu tentang puasa juga berlimpah di majelis taklim yang dipimpin pendakwah. Tempatnya di masjid, mushala, madrasah, dan rumah warga.
Ketiga, Ramadhan adalah syahru al-Qur’an, bulan diturunkannya al-Qur’an yang menjadi pembeda antara kebenaran dan kebatilan (al-Baqarah ayat 185).
Agar maksimal beribadah di bulan Ramadhan, interaksi dengan kitab suci al-Qur’an harus ditingkatkan sejak sekarang. “Ini adalah kesempatan belajar membaca al-Qur’an bagi yang belum bisa, juga untuk memperbaiki bacaan bagi yang belum baik bacaannya,” kata Kiai Fauzi.
Sedangkan bagi yang sudah mampu membaca dengan baik sesuai kaidah tajwid, lanjutnya, maka bulan suci hendaknya dimanfaatkan untuk menambah hafalan, pemahaman, serta tilawah al-Qur’an.
Keempat, Allah SWT berfirman pada ayat selanjutnya yakni QS. al-Baqarah ayat 186 yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan beriman kepada-Ku, agar selalu berada dalam kebenaran.”
Pada ayat tersebut jelas terlihat bahwa Allah SWT senang menyaksikan hamba-Nya yang selalu bermunajat kepada-Nya dan akan mengabulkan doa-doanya. Maka, sudah sepatutnya umat Islam menyambut hal baik tersebut dengan memperbanyak doa kepada Allah SWT dalam berbagai kesempatan.
Di kala Ramadhan tiba, waktu istimewa untuk berdoa semakin bertambah, seperti saat sahur, menunggu shalat, setelah shalat, dan menjelang ifthar. “Rasulullah SAW menyebut semua waktu tadi dan memotivasi kita untuk memperbanyak doa,” jelas KH Fauzi.
Kelima, Allah SWT juga berfirman pada ayat selanjutnya al-Baqarah ayat 187 yang artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu…”
Ramadhan kesempatan menguatkan kekeluargaan: menambah keintiman suami dan istri dalam ketaatan. Juga mendidik anak menjadi terbiasa dekat dengan Allah.
Masih pada ayat yang sama. “…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Ibnu Abbas pernah mendengar Rasulullah SAW berkata, “Andai umatku mengetahui apa yang ada di dalam Ramadhan (dari rahasia dan keistimewaan), mereka akan berharap setiap bulannya Ramadhan.” Ibn al-Jawzi juga pernah mengatakan, “Demi Allah, jika dikatakan kepada ahli kubur, buatlah impian! Mereka ingin memimpikan satu hari saja kembali hidup di bulan Ramadhan.”[]