Persoalan-persoalan hisab rukyah, secara hukum, termasuk persoalan fiqih atau ijtihadi. Karena banyaknya madzhab dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah di Indonesia maka banyak juga pihak yang tergugah untuk mengupayakan persatuan. Terbukti dari berbagai pengalaman, perbedaan seringkali membingungkan masyarakat awam bahkan seringkali mengoyak jalinan ukhuwah islamiyah.
Termasuk peluang perbedaan akan terjadi dalam penetapan puasa sunnah Arafah dan lebaran Idul Adha, dan sampai sekarang belum ada pendapat yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun demikian, upaya penyatuan pemerintah dengan madzhab imkan rukyah dengan format kekuasaan itsbat pada pemerintah sebenarnya merupakan upaya yang lebih mempunyai peluang untuk dapat diterima oleh semua pihak.
Upaya pemerintah ini pada dasarnya berpijak pada upaya tercapainya keseragaman, kemaslahatan, dan persatuan umat Islam di Indonesia. Dalam wacana hisab rukyah di Indonesia pada persoalan penetapan awal bulan terdapat fenomena menarik di mana Pemerintah dengan berdasar pada kaidah “hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’al-khilaf” (keputusan hakim/pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat).
Keputusan yang diambil pemerintah, sebagai upaya untuk mengakomodir semua madzhab semestinya dapat diterima dan diikuti oleh semua pihak. Namun dalam tataran realitas, ternyata masing-masing pihak mengeluarkan keputusannya sendiri-sendiri.
Oleh karenanya Abdussalam Nawawi dalam seminar international di Hotel Solaris, Malang, menghimbau agar masing-masing ormas tidak lagi mengeluarkan fatwa, ikhbar dan/pengumuman terkait penentuan awal bulan dan kemudian mengajak kepada umat Islam agar tunduk pada itsbat Pemerintah.
Jika umat Islam di Indonesia ini menyatakan keinginan dan tekad untuk mengawali dan mengakhiri bulan qamariyah secara seragam tetapi masing-masing ormas masih saja memberikan ikbar kepada warganya dan keputusannya menyelisihi ketetapan pemerintah, maka cita-cita besar itu tidak akan pernah terwujud.
Sudah saatnya menanggalkan egoisme ormas, egoisme partai, dan aliran demi kepentingan persatuan umat. Muhammad Shadi Musthafa Irbash menambahkah bahwa di negara Syria tidak pernah terjadi perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri bulan Hijriyah. Karena terdapat otoritas tunggal dalam hal penetapan awal bulan hijriyah yakni qadli/pemerintah.
Ia menegaskan bahwa para Ulama Ushuliyyun dan Fuqaha’ telah menetapkan bahwa keputusan qadli/hakim/pemerintah itu dapat menghilangkan adanya perbedaan dan berlaku untuk semua.
Mengutip apa yang selalu disampaikan oleh Prof Thomas Djamaluddin bahwa persoalan penetapan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah bukan sekadar masalah penetapan waktu ibadah. Ada cita-cita besar yang ingin diwujudkan umat Islam: mewujudkan kalender Islam yang mapan.
Kalender Islam yang mapan adalah kalender yang bisa digunakan untuk penentuan waktu ibadah dan kegiatan muamalat (sosial, ekonomi, budaya) yang bisa dibuat untuk puluhan tahun, bahkan ratusan tahun ke depan. Untuk membuat kalender diperlukan ilmu hisab (komputasi) astronomi.
Namun hasil hisab (perhitungan) saja belum bisa menetapkan awal bulan kalau belum menggunakan kriteria. Ya, kriteria menjadi salah satu dari tiga syarat utama untuk membangun sistem kalender yang mapan.
Tiga syarat membangun sistem kalender yang mapan adalah: (1) adanya otoritas tunggal, (2) adanya batas wilayah yang disepakati, dan (3) ada kriteria tunggal yang disepakati. Kondisi saat ini, perbedaan penentuan awal bulan qamariyah, terutama Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, bersumber dari belum adanya kesepakatan pada tiga syarat itu.
Di Indonesia, otoritas pemerintah belum sepenuhnya disepakati. Saat ini otoritas pimpinan ormas Islam masih lebih dipercaya. Batas wilayah secara umum sudah disepakati yaitu batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), walau ada yang menginginkan batas wilayah global (namun tanpa memberikan konsepnya).
Masalah kriteria makin menampakkan perbedaan antar-ormas Islam, khususnya antara Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Islam (Persis). Hasil hisab secara umum sama antara hasil hisab Muhammadiyah, NU, dan Persis karena semuanya menggunakan perangkat lunak astronomi.
Ketika terjadi perbedaan, bagaimana sikap kita? Marilah kita mengingat cita-cita besar umat Islam untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan. Marilah kita bersatu pada tiga syarat kalender mapan.
Batas wilayah NKRI sudah disepakati. Kalaulah masalah kriteria belum bisa disepakati dan terlanjur telah dijadikan dasar dalam penetapan kalender masing-masing ormas, marilah bersatu untuk syarat otoritas tunggal.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2/2004 menyatakan, “seluruh umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah”. Marilah kita bersepakat untuk menjadikan Pemerintah RI sebagai otoritas yang menjaga kalender Islam di Indonesia.
Marilah menjadikan keputusan pemerintah saat sidang itsbat (sidang penetapan) sebagai keputusan yang diikuti oleh seluruh umat Islam Indonesia. Itulah salah satu tahapan strategi mewujudkan kalender Islam di Indonesia yang mapan. Sementara itu dialog terus dilakukan untuk menyamakan kriteria berdasarkan kajian fikih dan astronomi.
Tentunya fatwa MUI ini juga sejalan dengan kaidah yang terdapat dalam Risalah Qawaid Fiqhiyah: تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة (Kebijaksanaan Imam/Kepala Negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan). []