Jika diamati, saat ini dapat kita temukan besarnya perubahan-perubahan sosial pada kehidupan keluarga, sebagai akibat dari pembangunan. Pembangunan memang menghendaki pembaruan untuk meningkatan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur. Namun akibat pembaruan itu, timbul perubahan-perubahan sosial secara menyeluruh, dengan akibat samping tingginya biaya moral yang harus dibayar. Berupa kegoncangan kehidupan moral dan agama dalam keluarga dengan segala eksesnya, khususnya di kalangan anak-anak muda. Antara lain lahirnya kelompok atau geng-geng remaja, keberandalan, pemakaian narkotika, dan seks bebas.
Keluarga, yang seharusnya memegang peran penting dalam bidang pendidikan agama -di samping sekolah dan masyarakat- ternyata sebagian besar keadaannya sangat rapuh, sehingga tidak lagi memenuhi syarat-syarat pendidikan. Orangtua, sebagai pendidik dan merupakan faktor penentu dalam pendidikan, ternyata tidak memiliki atau menguasai pengertian, keyakinan dan keterampian agama. Di samping tidak mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendidik. Tingkat pendidikannya juga masih sangat rendah untuk menghadapi persoalan anak didik.
Selain itu, situasi dan kondisi keluarga juga tidak menunjang pendidikan agama. Di samping masuknya pengaruh negatif luar yang datang melalui media televisi, radio, film, dan bacaan. Kondisi rumah dan ruang tinggal pun sangat menyedihkan, berjubel, berhimpitan, serta penuh sesak dengan manusia dan alat-alat rumah tangga.
Ditambah metode behavioral approach (bil-hikmah wal-mau’idzah hasanah) praktis tak dapat dilaksanakan dengan baik. Keadaan ini merupakan gambaran yang sangat suram dan mencemaskan. Satu-satunya harapan yang masih menimbulkan optimisme ialah kesadaran dan keinginan orangtua untuk menanamkan ketauhidan, akhlak, dan budi luhur berdasarkan moral agama kepada anak-anaknya.
Karena, untuk menghadapi berbagai tantangan dari pengaruh negatif lajunya pembangunan dan penyerapan teknologi modern, orang harus melihat agama sebagai senjata ampuh, dan pendidikan agama merupakan jalan yang harus ditempuh.
Apabila digali lebih dalam, konflik antara orangtua dan anak yang sering terjadi dewasa ini, timbul disebabkan salahnya pendidikan agama dalam keluarga. Antara lain akibat kesalahan sikap dalam memilih jalan, atau menentukan sikap ketika menghadapi persimpangan jalan dalam suasana yang dikatakan ‘pembaruan’.
Kesalahan itu dimulai dari tidak berpegang teguhnya orangtua pada prinsip moral agama. Atau mereka hanyut dibawa perubahan zaman. Pandangan tentang kehidupan modern telah mengaburkan penglihatan mereka untuk memilah mana yang prinsip dan mana yang bukan. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.
Kecenderungan perbuatan buruk seperti suap, korupsi, kecurangan, dan kesewenang-wenangan pun terjadi. Semboyan Het Doel Heiligt De Middelen (segala jalan boleh ditempuh) dijadikan pedoman dalam mengejar kekayaan dan kenikmatan, tanpa menghiraukan batal dan haram.
Seringkali juga prinsip-prinsip Machiavelisme, seperti yang benar itu yang berkuasa, diterapkan untuk mencapai tujuan tanpa menghiraukan baik atau buruk, benar atau salah. Begitulah betapa parah keadaan kerusakan moral agama dalam masyarakat saat ini. Dalam rangka ini uluran tangan Majelis Ulama sangat diharapkan. Karena, jika keluarga, sebagai inti dari masyarakat, keadaannya telah menjadi rapuh, maka kehidupan moral masyarakat pun akan lumpuh. []