Negara Indonesia berhasil mensekulerisasi zakat sebagai instrumen Illahi ke negara yang mengadopsi sistem semi sekuler. Penelitian ini mengkaji kontestasi antara masyarakat dan masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat melalui kasus dan uji coba di Mahkamah Konstitusi.
Praktik zakat di Indonesia sangatlah spesifik dan berbeda dengan praktik di negara-negara Muslim lainnya. “Di negara berpenduduk mayoritas Muslim, praktik zakat di Indonesia sebenarnya adalah produk dinamika sosial, budaya, dan politik umat Islam Indonesia,” ungkap Heru Susetyo, dosen senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Depok.
Pada penelitian ini, ia pun menggunakan teori Joel S Migdal tentang kontestasi. Dalam “persimpangan” Migdalian ini antara kekuatan negara dan kekuatan sosial, badan zakat non-negara ini secara alami memulai pertarungan dalam kedua bentuk perjuangan dan akomodasi.
Lembaga non-negara ini mengakomodasi kelangsungan hidup mereka melalui modernisasi operasi sehari-hari mereka. Gunanya untuk menjangkau lebih banyak sumber dana dan target, serta melancarkan perjuangan hukum untuk membatalkan beberapa bagian yang tidak menguntungkan dalam sekularisasi pengelolaan zakat yang baru tiba melalui politisasi zakat.
Di tempat pertemuan untuk kekuatan negara dan sosial, hasilnya bimbang. Artinya bergantung pada tempat dan konteks kontestasi. Antara apa yang oleh Migdal (1994) disebut penggunaan kekuatan sosial atau simbol negara dan adaptasi kekuatan sosial yang dominan terhadap kehadiran komponen negara. Dalam serangkaian strategi akomodasi bersama ini, semua menjadi mungkin: kooptasi, penciptaan beberapa jaringan klien, dan korupsi.
Disertasi, yang berada di bawah pengawasan Dr Sriprapha Petcharamesree, Assoc Prof Yukiko Nishikawa PhD, dan Prof Dr Uswatun Hasanah, menyebutkan bahwa kontestasi adalah proses memperdebatkan sesuatu atau perjuangan untuk superioritas atau kemenangan antar saingan.
“Tantangan utama terkait zakat adalah ketika dilakukan dibawah pengaturan negara modern. Khususnya di negara semi sekuler seperti Indonesia,” tambah Heru. Dimana tidak ada yang berpendapat bahwa zakat itu wajib seperti yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Namun, ketika berhubungan dengan zakat, orang-orang Muslim dan negara modern, praktiknya mungkin berbeda. Artinya dari puluhan negara Muslim, hanya enam negara yang menerapkan sistem wajib. Sisanya menerapkan sistem sukarela atau tidak melibatkan sama sekali dalam urusan zakat, biarkan rakyat memerintah sendiri.
Dalam hal ini, zakat di Indonesia sebenarnya adalah ‘zakat Indonesia’. Karena praktiknya berbeda dengan negara-negara Muslim lainnya.
“Mungkin, hanya di Indonesia masyarakat sipil menentang hukum zakat ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,” ujar Heru. Hanya karena undang-undang tersebut cenderung membeda-bedakan dan mempersempitruang masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat.
Selain itu, di beberapa daerah, orang-orang memprotes peraturan daerah dan sangat menunjukkan perlawanan mereka terhadap pengelolaan zakat karena undang-undang tersebut tidak memenuhi keinginan mereka.
Oleh karena itu, seseorang seharusnya tidak menyamakan praktik atau Islam dan praktik zakat sama dengan semua negara Muslim. Selalu ada perbedaan yang sebagian disebabkan oleh pluralisme Indonesia.
Alih-alih perlawanan yang ditunjukkan oleh tindakan hukum ke Pengadilan Nasional, dinamika sosio-politik masyarakat sipil Indonesia lainnya terhadap sekularisasi zakat telah ditunjukkan oleh protes keras dan ketidaksetujuan terhadap kebijakan dan tata cara zakat di beberapa daerah.
Keputusan paksa untuk memusatkan pihak berwenang mengelola dana zakat ke tangan BAZNAS (Badan Zakat Nasional) pada tahun 2011 dengan otoritas yang ketat dan hak untuk memberikan lisensi kepada agen zakat non-negara yang telah memiliki hak untuk waktu yang lama, telah mengganggu dua jenis agensi. Pertama, orang-orang yang kehilangan otoritas mereka dan kedua, orang yang memiliki kewajiban yang tidak diinginkan.
Para pemimpin agama tradisional yang kehilangan otoritas tradisional mereka untuk mengelola dana zakat, memobilisasi zakat agar tetap menyimpan zakat pembayaran biasa kepada mereka. Serta untuk menghindari pembayaran kepada agen atau aktor yang ditunjuk negara.
Beberapa pemimpin agama bahkan mendirikan organisasi sendiri untuk mengelola zakat di antara hal-hal lain. Lembaga-lembaga berbasis negara lama yang telah mengumpulkan dan mengelola dana zakat – sebagai lembaga publik atau perusahaan negara – jauh lebih awal dari Undang-Undang Zakat yang baru di tahun 2011 juga menderita kekurangan otoritas.
Pejabat pemerintah seperti guru tingkat rendah, misalnya, tiba-tiba menyadari bahwa gaji mereka menjadi subyek pembayaran zakat, padahal itu tidak mereka inginkan. Para guru itu lantas berdemonstrasi dan menuntut pemogokan untuk menolak pengenaan kewajiban baru tersebut.
Melalui perjuangan dan akomodasi, pelaku dan agensi dalam pengelolaan zakat melindungi kepentingan mereka terhadap gelombang baru politisasi administrasi zakat. Kapan pun perjuangan itu tidak memungkinkan, lembaga-lembaga ini meluncurkan praktik diskursif untuk melindungi legitimasi mereka.
Mengadopsi tema menarik seperti “pemberdayaan” atau “pertanggungjawaban”, badan zakat yang terancam ini membuka wacana publik tentang bagaimana mereka bekerja sangat keras memberdayakan penerima zakat agar menjadi pembayar zakat setelah beberapa usaha intensif. Beberapa program pemberdayaan juga telah dilaporkan “berhasil” dan “efisien” oleh beberapa agensi zakat non-negara ini karena terbukti dengan beberapa dukungan statistik.
Sebagai kontestasi dalam perjuangan dan akomodasi terjadi di berbagai tingkat alam, lapangan bermain, dan aktor, analisis untuk hasil bersih dari kontestasi semacam itu menjadi bermasalah. “Persimpangan” Migdal antara kekuatan negara dan kekuatan sosial hanya menawarkan empat jenis hasil bersih.
Keempatnya adalah transformasi total (oleh negara), penggabungan negara dari kekuatan sosial yang ada, penggabungan kekuatan sosial yang ada pada negara, dan kegagalan negara untuk menembus (sosial kekuatan).
Eksperimen Indonesia dalam sekularisasi administrasi zakat menunjukkan fakta yang menarik bahwa walaupun pemerintah telah mengambil semua otoritas untuk mengelola zakat dan untuk mendelegasikan wewenang kepada badan zakat non-negara, proses administrasi zakat (pengumpulan dan pendistribusian) tidak benar-benar tergantung pada otoritas.
Karena zakat dan administrator zakat tradisional (non-negara) telah membangun hubungan patron-klien untuk waktu yang lama. “Sebagaimana kepercayaan dinilai masih sangat penting dalam administrasi zakat yang efisien,” pungkas pria kelahiran Bandung, 13 Januari 1972 itu. [Edithya Miranti]
Biografi Penulis
Nama :Heru Susetyo SH LLM MSi PhD
Tempat Tanggal Lahir :Bandung, 13 Januari 1972
Pendidikan :
- Politeknik, Universitas Indonesia, Depok, 1996
Degree : Diploma 1 Administrasi Niaga
- Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 1996
Degree : Sarjana Hukum (equivalent to LL.B/ Bachelor of Law)
Specialization : Perundang-Undangan Sosial, Antropologi Hukum,
Gender & Hukum
- Northwestern University School of Law Chicago, IL USA 2003
Degree : LLM (Master of Law) under Fulbright Scholarship
Specialization : International Human Rights Law (Refugees and IDP’s Law)
- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok,
September, 2003
Degree : MSi (Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial)
Specialization : Kebijakan Sosial dan Advokasi Sosial
- Mahidol University Nakorn Pathom, Thailand
Degree : PhD 2014
Specialization : Human Rights & Peace Studies
- Tilburg University Tilburg
The Netherlands
Degree : (external researcher) 2012 – (on going)
Specialization : Victimology
Pengalaman :
- Manajer Kerjasama, Ventura & Hubungan Alumni di Universitas Indonesia, Fakultas Hukum sejak tahun 2015
- Visiting Researcher at Disaster Prevention Research Institute Aug – Nov 2006, Kyoto University, Japan
- Visiting Researcher at Institute of Asian Studies Nov – Feb 2007, Chu;alongkorn University, Bangkok, Thailand
Penghargaan/Beasiswa :
- Awarded six months internship in International Law and Organization Program of
Amnesty International, International Secretariat, London UK July – December
- Awarded Republic of Indonesia honorary medal by the President of Indonesia
(2006) for the humanitarian intervention and community services carried out in
Aceh , Indonesia in the aftermath of Earthquake and Tsunami 2004 – 2005
- Awarded program fee to participate to Diplomacy and Human Rights Training on
Human Rights and Trade, organized by Diplomacy Training Program East Timor
and Faculty of Law University of New South Wales, Australia, Kuala Lumpur –
Malaysia, March – April 2008.
- Awarded Salzburg Global Seminar – Nippon Foundation Fellowship to
participate to Salzburg Global Seminar on Islamic Law and International Law,
organized by Salzburg Global Seminar, Salzburg, Austria, 25 – 30 October 2008.