Seorang budak dipukul dengan tongkat, dan orang merdeka cukup dengan isyarat.
Kata budak dalam bahasa Inggris disebut slave, diambil dari kata slav, merujuk kepada bangsa Slavia (kini Eropa Timur) yang banyak ditangkap dan dijadikan budak saat peperangan pada awal abad pertengahan, yaitu periode sejarah Eropa sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Romawi Barat di bawah prakarsa Raja Charlemagne pada abad ke-5 Masehi hingga munculnya monarki-monarki nasional.
Ketika itu dimulai penjelajahan samudera, kebangkitan humanisme, serta reformasi Protestan dengan dimulainya renaisans pada 1517. Namun, praktik perbudakan terjadi jauh sebelum itu. Buktinya, ditemukan makam prasejarah di Mesir Bawah yang diperkirakan ada sejak 8000 SM yang menandakan bahwa masyarakat Libya telah memperbudak suatu suku.
Pada catatan terawal, perbudakan sudah dianggap sebagai institusi yang mapan. Kode Hammurabi (1760 SM) contohnya, menyatakan bahwa hukuman mati dijatuhkan bagi siapa saja yang membantu seorang budak melarikan diri sebagaimana orang yang menyembunyikan buronan.
Perbudakan dikenal hampir dalam semua peradaban kuno, termasuk Sumeria, Mesir Kuno, Tiongkok Kuno, Imperium Akkad, Asiria, India Kuno, Yunani Kuno, Kekaisaran Romawi, orang Ibrani di Palestina dan masyarakat sebelum Columbus di Amerika.
Institusi tersebut berupa gabungan dan perbudakan-hutang, hukuman atas kejahatan, perbudakan terhadap tawanan perang, penelantaran anak, dan anak dari rahim seorang budak. Hidup menjadi seorang budak bukanlah impian manusia mana pun di bumi ini.
Budak adalah manusia yang terenggut hak asasinya sebagai manusia bebas dan bermartabat. Mereka adalah manusia yang tereksploitasi secara fisik maupun psikis. Apapun yang dikehendaki tuannya harus dilakukan. Jika tidak, hukuman pun menanti.
Kehidupan para budak sungguh menyedihkan, dalam kasus perbudakan yang terjadi di Amerika pada abad ke14 sampai abad ke-18, setiap hari mereka harus bekerja keras dari matahari terbit hingga terbenam, tanpa gaji dan mendapat perlakuan kasar.
Untuk tempat berlindung, para budak harus membangun rumahnya sendiri dengan bahan seadanya. Sedangkan untuk makan, mereka makan makanan seadanya. Dalam setahun hanya diberi tiga pakaian. Mereka dilarang untuk berbicara dengan sesama budak dengan bahasa mereka.
Para budak tidak diperbolehkan belajar membaca dan menulis, namun pada hari Ahad mereka diizinkan ke gereja. Jika lalai dalam melaksanakan perintah tuannya, siksaan berupa cambuk, pukulan, dan tendangan siap menanti.
Tidak bisa dibayangkan betapa perihnya hidup menjadi seorang budak. Namun, praktik perbudakan ini hilang secara berangsur di Amerika di bawah Presiden Abraham Lincoln (1863) melalui dekrit Proclamation of Emancipation.
Efek perbudakan tidak serta-merta tuntas dalam kurun waktu beberapa tahun saja, tapi masih kita rasakan sampai sekarang. Munculnya rasisme di berbagai belahan dunia adalah sisa-sisa paham yang sulit hilang.
Teori evolusi yang digagas Darwin juga turut menambah subur praktik perbudakan yang terjadi. Ini menarik jika dilihat dari sudut pandang teologi, di mana manusia berada di posisi hamba yang harus patuh kepada Tuhan. Jika memang demikian, lalu pukulan dan siksaan seperti apa yang Tuhan berikan kepada manusia untuk mengikuti perintah-Nya? Benarkah kita telah merasakan hal itu selama hidup? Tersiksakah manusia selama hidup di dunia?
Tuhan tidak menganggap manusia sebagai makhluk yang harus dikekang dan dibatasi. Manusia dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia. Manusia bebas memilih, namun Tuhan memberikan isyarat-isyarat dan petunjuk dalam Kitab Suci. Maka menjadi manusia adalah menjadi makhluk yang bebas, merdeka, dan lepas dari kekangan.
Manusia dikatakan budak atau hamba adalah mereka yang menyiksa diri sendiri, menyiksa nuraninya sebagai seorang manusia. Mereka tidak merasa sakit secara fisik, tetapi sakit secara hati dan nurani. Tertawa setelah melakukan yang diingkari hatinya adalah sebuah bentuk kebohongan. Mereka telah melakukan kekeliruan. Artinya, mereka menolak kemerdekaan dengan mengindahkan isyarat dan memilih menjadi budak Tuan yang lain.
Siapa Tuan yang memalingkan mereka dari sebaikbaiknya Tuan? Yaitu Tuan Nafsu dan keserakahan. Budak nafsu akan selalu menyiksa nuraninya, sedangkan orang yang merdeka adalah mereka yang mampu menangkap isyarat dan melaksanakan perintah Tuannya.[]