Allah SWT berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Artinya: ”Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS Qāf: 18)
Interpretasi Mufasir
Dalam Tafsir Al-Wajiz dijelaskan bahwa tidak ada kata atau kalimat yang diucapkan manusia kecuali ada malaikat yang dekat dengan ucapan dan tindakannya lalu mencatat dan menjaganya. Dia ada di sisinya dan tidak dapat dipisahkan, untuk menulis kebaikan dan keburukan.
Ucapan yang dimaksudkan dalam ayat ini yaitu yang diucapkan oleh manusia, keturunan Adam. Ucapan tersebut dicatat oleh malaikat yang sifatnya Raqib dan ‘Atid yaitu senantiasa dekat dan tidak pernah lepas dari seorang hamba. Malaikat tersebut tidak akan membiarkan satu kalimat dan satu gerakan melainkan ia akan mencatatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (١٠) كِرَامًا كَاتِبِينَ (١١) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (١٢)
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Infithar: 10-12)
Ucapan dalam ayat ini berdasarkan tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin itu bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak bermanfaat atau sia-sia.
Ibnu Abbas RA berkata: Malaikat itu mencatat segala sesuatunya dari perkara yang baik dan yang buruk yang dikerjakan oleh hamba tersebut sampai pada perkara-perkara yang mubah yang keluar dari mulutnya, seperti: makan, minum, pergi, pulang dicatat semuanya tidak ada yang luput, olehnya karenanya pada hari kiamat orang-orang kafir terheran sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Kahfi ayat 49.
Allah SWT berfirman:
وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا ࣖ
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun.” (QS Al-Kahf: 49)
Al-Hasan al-Basri dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Wahai anak-anak Adam, telah disiapkan untuk kamu sebuah daftar dan telah ditugasi malaikat untuk mencatat segala amalanmu, yang satu di sebelah kanan dan yang satu lagi di sebelah kiri. Adapun yang berada di sebelah kananmu ialah yang mencatat kebaikan dan yang satu lagi di kirimu mencatat kejahatan.”
Oleh karena itu, terserah kepadamu semua amal perbuatan yang dilakukan, kamu diberi kebebasan dan bertanggung jawab terhadapnya nanti setelah wafat, daftar itu ditutup dan digantungkan pada lehermu, masuk bersama-sama ke dalam kubur sampai kamu dibangkitkan pada hari Kiamat, dan ketika itulah Allah akan berfirman:
وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖۗ وَنُخْرِجُ لَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلْقٰىهُ مَنْشُوْرًا
“Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka.” (QS Al-Isra: 13)
Nilai-nilai Pedagogis
QS Qāf: 18 tersebut di atas mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan buat manusia. Pertama, mendidik kita menjadi hamba yang menjaga lisan dan senantiasa bertutur kata yang baik. Kedua, mendidik kita agar menjadi pribadi yang taat dan menjauhi hal-hal yang sia-sia, syubhat, dan haram.
Ketiga, menumbuhkan akhlak terpuji dengan rasa kepekaan yang tinggi terhadap perasaan orang lain. Sehingga berpikir dahulu sebelum mengatakan sesuatu. Keempat, mendidik kita agar menjadi pribadi yang senantiasa bermuhasabah karena kita milik Allah dan semua amalan akan dimintai pertanggungjawabannya.
Di antara semua anggota badan itu yang paling krusial yaitu lisan. Lisan merupakan perangkat di dalam tubuh manusia yang bisa menimbulkan manfaat, namun sekaligus madharat yang besar bila tak benar penggunaannya. Karena itu ada hadis Rasulullah, salâmatul insan fî hifdzil lisân (keselamatan seseorang tergantung pada lisannya). Melalui kata-kata, seseorang bisa menolong orang lain. Lewat kata-kata pula seseorang bisa menimbulkan kerugian, tak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi orang lain.
Di zaman modern ini, ucapan atau ujaran tak semata muncul dari mulut tapi juga bisa dari status Facebook, cuitan di Twitter, meme di Instagram, konten video, dan lain sebagainya. Media sosial (Medsos) juga menjadi ajang ramai-ramai berbuat ghibah, fitnah, tebar kebohongan, provokasi kebencian, bahkan sampai ancaman fisik yang membahayakan.
Makna lisan pun meluas, mencakup pula perangkat-perangkat di dunia maya yang secara nyata juga mewakili lisan kita. Dampak yang ditimbulkannya pun sama, mulai dari adu domba, tercorengnya martabat orang lain, sampai bisa perang saudara.
Karena itu, kita seyogianya hati-hati berucap atau menulis sesuatu di media sosial. Berpikir dan ber-tabayyun (klarifikasi) menjadi sikap yang wajib dilakukan untuk menjamin bahwa apa yang kita lakukan bernilai maslahat, atau sekurang-kurangnya tidak menimbulkan mudharat. Sekali lagi, ingatlah bahwa Allah mengutus malaikat khusus untuk mengawasi ucapan kita, baik hasil lisan kita maupun ketikan jari-jari kita di media sosial.
Makna Salāmat al-Insān fī Hifdẓi al-Lisān
Rasulullah SAW Bersabda:
سَلَامَةُ اْلإِنْسَانِ فِي حِفْظِ اللِّسَانِ
“Keselamatan manusia terletak dalam menjaga lisannya.” (HR Bukhari)
Hadis ini mengingatkan sedemikian kuat hubungan antara keselamatan seseorang dengan kemampuan menjaga lisannya. Jadi pada prinsipnya kita tidak boleh grusa-grusu dalam berucap atau mengucapkan sesuatu tanpa mempertimbangkan tentang manfaat dan mudharat-nya.
Karena itu menjaga lisan merupakan pokok keselamatan. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ,قَالَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-:أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Dari Abi Umamah, dari Uqbah bin Amir al-Juhaniy bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? Sabda Rasulullah SAW: “Jaga lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa lapang (betah tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu” (HR At-Tirmidzi)
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah SWT berfirman:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُوْنَ اَنْ يَّشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَآ اَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُوْدُكُمْ وَلٰكِنْ ظَنَنْتُمْ اَنَّ اللّٰهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.” (QS Fusshilat: 22)
Karenanya, menjaga lisan merupakan sendi utama keimanan.Keimanan di sini diibaratkan dengan lisan sebagai salah satu komandan organ-organ utama tubuh. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، قَالَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: تُصْبِحُ الأَعْضَاءُ تُكَفِّرُ اللِّسَانَ تَقُولُ :إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ: اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Dari Abi Sa’id Rasulullah Saw. bersabda: Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan tunduk kepada lisan lalu berkata, ‘Takutlah kepada Allah untuk kami, kami bergantung padamu. Bila engkau lurus, kami pun lurus. Dan bila engkau bengkok, kami pun bengkok’.” (HR An-Nasa’i)
Perintah Berkatalah yang Benar dan Baik
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al-Ahzab: 70)
Menjaga lisan merupakan tanda keimanan dan ciri kebaikan agama seseorang yang menunjukkan kuatnya iman dan hubungannya dengan Allah Ta’ala. Rasul SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
“Tidak akan lurus di atas jalan istiqamah iman seorang hamba sebelum istiqamah hatinya, dan tidak akan istiqamah hatinya sebelum istiqamah lisannya”. (HR Ahmad)
Dalam kaitan ini Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah halaman 83-84 menasihatkan tujuh adab menjaga lisan sebagai berikut:
Pertama,
(وَإِيَّاكَ) وَاْلخَوْضَ فِيْمَا لَا يَعْنِيْكَ
“Hendaklah Anda tidak melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak ada gunanya bagi Anda.”
Kedua,
وَإِكْثَارَ اْلحَلْفِ بِاللهِ وَلَا تَحْلِفْ بِهِ تَعَالَى إِلَّا صَادِقً عِنْدَ اْلحَاجَةِ (وَإِيَّاكَ). وَلَا تُكْثِرِ الْأَيْمَانَ وَإِنْ كُنْتَ صَادِقًا
”Jangan sering-sering bersumpah demi Allah, dan jangan bersumpah demi nama-Nya kecuali memang benar-benar mendesak. Dan janganlah sering bersumpah meskipun engkau benar.”
Ketiga,
وَاحْذَرْ اْلكَذِبَ بِجَمِيْعِ أَنْوَاعِهِ فَإِنَّهُ مَنَاقِضٌ لِلْإِيْمَانِ
”Hindarilah segala macam kebohongan sebab hal itu berlawanan dengan iman.”
Keempat,
.وَاْلغِيْبَةَ وَالنَّمِيْمَةَ وَاْلإكْثَارَ مِنَ اْلمُزَاحِ
”Jauhkan dirimu dari pergunjingan dan fitnahan serta bercanda secara keterlaluan.”
Kelima,
وَاجْتَنِبْ سَائِرَ اْلكَلَامِ اْلقَبِيْحِ،.
“Hindarilah setiap ucapan keji.”
Keenam,
وَأمْسِكْ عَنْ رَدِيءِ اَلكَلَامِ كَمَا تُمْسِكُ عَنْ مَذْمُوْمٍ
“Jagalah lisanmu dari ucapan yang kurang baik apalagi yang tercela.”
Ketujuh,
وَتَفَكَّرْ فِيْمَا تَقُوُلُ قَبْلَ أَنْ تَقُوُلَ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَقُلْ وَإِلَّا فَاصْمُتْ.
“Pikirkan baik-baik apa yang akan Anda ucapkan sebelumnya. Jika itu baik menurut Anda, katakanlah. Jika tidak, diamlah.”
Lalu, mengapa kita harus menjaga lisan? Ada beberapa alasan. Pertama, menjaga lisan dapat terhindar dari api neraka. Rasulullah SAW bersabda:
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR Muslim )
Kedua, menjaga lisan bisa terhindar dari kebinasaan. Rasulullah SAW bersabda:
ُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ. قُلْتُ بَلَى يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
“Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR Tirmidzi)
Ketiga, menjaga lisan dapat mengantarkan ke surga. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ، وَشَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ الجَنَّةَ (رواه الترمذي)
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan sesuatu yang ada di antara kedua jambangnya (lisan) dan kejahatan di antara kedua kakinya (kemaluan), ia masuk surga.” (HR At-Tirmidzi)
Keempat, menjaga lisan dapat menjauhkan dari murka Allah. Rasulullah SAW bersabda:
عَن أبي هُرَيرة ، قال : قال رَسُول اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وَسَلَّم :إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللَّهِ، لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا، فَيَهْوِي بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Bisa jadi seseorang mengatakan satu kalimat yang dimurkai Allah, suatu kalimat yang menurutnya tidak apa-apa. Akan tetapi, dengan sebab kalimat itu dia jatuh ke neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR Ahmad)
Kelima, menjaga lisan akan mengangkat derajat seorang hamba. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ
“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang Allah ridhai, yang dia tidak memperhatikannya, namun dengan sebab itu Allah mengangkatnya beberapa derajat.” (HR Bukhari)
Keenam, menjaga lisan dapat mengantarkan ridha Allah sampai hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ
“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang mengandung keridhaan Allah, dia tidak menyangka ucapannya begitu tinggi nilainya, maka Allah ‘Azzza wa Jalla akan menuliskan keridhaan baginya sampai hari kiamat.“ (HR Tirmidzi)
Kisah Teladan
Diriwayatkan, Abu Bakar mengemut batu untuk menjaga lisannya dari perkataan-perkataan yang tidak berguna selama 12 tahun. Selama 12 tahun Abu Bakar mengemut batu sehingga berhasil membiasakan diri untuk irit bicara. Ia tak mengeluarkan batu dari mulutnya kecuali saat shalat, makan dan tidur. Bahkan ia berdoa: “Semoga diriku bisu kecuali dari dzikir kepada Allah.” (Kitab al-Jawahirul Lu’luiyyah fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyyah)
Ibnu Mas’ud mengatakan dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin, “Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama melainkan lisanku ini.”
Diceritakan dalam silsilah liqa’at al-bab al-maftuh, Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit yang dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thawus, seorang tabi’in yang terkenal), “Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat).” Setelah mendengar nasihat itu, Imam Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan dicatat oleh malaikat.
اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى
Artinya:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan pendengaran, penglihatan, lisan, qalbu, dan maniku.” (Sunan Abu Dawud No. 1551; Sunan At-Tirmidzi No. 3492) []