Jakarta, Gontornews — Penghasilan yang banyak dari bisnis yang dijalankan suaminya tidak membuat istri seniman lukis dan kaligrafer ternama, Achmad Nuril Mahyudin tinggi hati dan gila harta. Namun sebaliknya sebagian hartanya malah diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
“Suami saya seniman lukis dan kaligrafi, saya art dealernya sekaligus manajer. Kami berdua juga trainer, dosen tamu, diundang di berbagai lembaga dan daerah. Kami juga ada usaha home industri tas, usaha penulisan dan penerbitan buku, home dan mobile spa, dan lain-lain. Sebagian besar dari profit dan pendapatan dari profesi dan usaha kami, dialokasikan untuk aktivitas sosial” tambahnya.
Adalah Azhimatul Noor Bashari Diyanti, istri dari pengusaha butik reptile dan amphibi ini melalui program independen yang diusungnya turut andil dalam membangun karakter mental, karakter, dan leadership skill masyarakat pedusunan. Bersama suaminya pula, alumni Pondok Modern Gontor Putri tahun 2000 ini juga menyediakan sarana air bersih, membangun sumur gali, MCK, dan tempat wudhu, berbagi perlengkapan sekolah, berbagi makanan untuk masyarakat yang membutuhkan, dan masih banyak lagi program yang lainnya
Lulusan S1 Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo yang melanjutkan S2 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini juga melatih masyarakat pedusunan dengan berbagai skil teknis dan praktis, seperti fotografi dokumenter, teknik sipil, perawatan bekam, pendidikan dan kesehatan.
“Saya ingin mengabdikan diri secara pro aktif untuk umat, khususnya dhuafa di pedusunan agar mereka bisa bangkit dari kemiskinan yang melingkupinya baik dari aspek spiritual, sosial, karakter maupun ekonominya,” tutur Azhimatul Noor Bashari Diyanti kepada Gontornews
Salah satu program yang sudah terlaksana adalah pembangunan sumur di pemukiman hutan Banjarejo, Ghodeg, Gembol Karanganyar, Ngawi. Dalam ceritanya, Noora mengatakan, tujuannya membangun sumur di pelosok bukan hanya menyediakan sarana air bersih yang dekat dengan pemukiman karena sebelumnya masyarakat harus berjalan bermil-mil kedalam hutan untuk mengambil sepikul air.
Lebih dari itu Noora berharap, ketika sumur selesai dibangun, ada perubahan karakter dan mentalitas penduduk setempat hingga diupayakan munculnya satu atau beberapa orang pelosok yang ditokohkan untuk menjadi pemimpin yang mampu menggerakkan masyarakat setempat.
Baginya, hal ini tidak lebih mudah dari pengerjaan sumur. Maka tantangannya adalah bagaimana membangun sumber daya manusia yang berkualitas di pelosok. Selain itu, proses pencarian sumber air bawah tanah yang deras, sangatlah tidak mudah, perlu waktu, tenaga, materi yang tidak sedikit untuk penemuan sumber air baru tersebut.
Tempat lain yang menjadi lokasi sasaran adalah di pedusunan pelosok Ngawi, Sragen, Grobogan, Purwodadi, dan perbatasan Bojonegoro. Kata kuncinya adalah wilayah merah alias abangan, wilayah kering yang kekurangan air, penduduknya miskin baik secara materi, kultural, maupun struktural. “Kami fokus di wilayah pelosok yang minim akses terhadap bantuan dan wilayah kering. Karena wilayah perkotaan dan pinggiran desa sudah banyak yang menggarap dari lembaga yang ada,”jelasnya.
Dipilihnya wilayah merah atau abangan, dalam artian penduduk yang tidak tahu bagaimana berislam dengan baik, kata dia, dengan membangun sumur bisa bermanfaat sebagai sarana untuk thoharoh selain untuk ketersediaan air sebagai hajat dasar hidup penduduk tanpa pandang bulu. “Bagaimana mau mengajak sholat, mengaji, dan seterusnya bilamana air untuk thoharoh saja tidak tersedia didekat mereka?” tegasnya.[Muhammad Khaerul Muttaqien/Aysha Athaaya Salsabila]