Hamka berpidato. Setelah selesai, orang memujinya di hadapan saya. “Pak Hamka, wah pidatonya hebat, betul-betul mengasyikkan orang, bisa menyihir orang. Ditambah lagi yang saya heran, hafal tahun-tahunnya dalam sejarah Islam itu.” Ketika itu Pak Hamka baru menjawab, “Kan, dihafalkan dulu.” Itu jawab Hamka.
Trimurti mendirikan pondok, tidak ada yang bertitel bisa berjalan. Trimurti tidak bertitel apa-apa. Santri di sini mula-mula anak-anak kampung yang belum pandai mandi. Pak Sahal bisa mempengaruhi orang. Yang pertama dipengaruhi itu tetangga dekat. Itu pun kadang-kadang belum bisa. Tetangga yang paling dekat itu Pak Syahir sekeluarga. Kemudian dari Gontor tengah. Alhamdulillah pengaruhnya meluas. Kemudian datang Pak Sirman. Wah, mulai dari desa lain. Kemudian dari Suren, dari Siwalan, dari Tugu. Sesudah itu bertambah lagi tetangga kecamatan: Balong. Pak Shoiman -ketika itu. Kemudian ada yang lebih jauh lagi, yaitu Trenggalek. Lama-lama tetangga karesidenan, tetangga provinsi, akhirnya tetangga negara seperti sekarang ini. Yang menarik itu apanya?
- Apa kesarjanaan saya? Bukan.
- Apa kekayaan saya? Bukan.
- Apa gedung-gedungnya? Bukan.
Saya pernah membantu mengajar anak-anak orang Arab di Solo. Anak-anak itu nakalnya bukan main. Pernah anak Arab itu saya pukul. Ketika saya pukul, anak itu mengelak, malah kena matanya dan keluar darah. Lain waktu saya bawa anak-anak itu ke lapangan untuk olahraga. Ee… malah jajan dawet semua. Ketika itu saya berkata dalam hati, “Saya tidak mempunyai bakat menjadi guru.” Akhirnya saya belajar terus. Sesudah belajar ilmu cara mengajar dan mendidik dari buku-buku dalam bahasa Arab dan lain-lain, saya baru mengerti rahasia i’dad. Saya berkata, “Saya berani mengajar semua orang.” Sampai saya katakan, “Saya berani mengajar profesor, doktor, insinyur: siapa pun.” Tapi caranya i’dad dulu. Dengan i’dad yang lengkap dan betul-betul.
Ketika saya berbicara di Mesir berbahasa Arab, orang heran dan bertanya, “Bapak ini bisa berbahasa Arab fasih belajarnya di mana?” Saya jawab, “Saya belajar di Indonesia saja.” Tapi dalam batin, saya jawab, “Ya, saya belajar di muka murid selama 20 tahun.”
Setelah mengetahui itu, katakanlah, pondok maju karena i’dad. Maka mengenai i’dad ini saya tekankan sehebat-hebatnya. [Bersambung]