Ramadhan selalu disambut dengan gembira dan gegap gempita. Dengan kemuliaan bulan ini seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk meningkatkan keshalihan individual dan keshalihan sosial, terutama keshalihan politik.
Ramadhan memberikan daya magnetik umat Islam untuk berbuat kebaikan lebih banyak dibanding bulan-bulan biasanya. Pasalnya, di bulan Ramadhan setiap amalan akan dilipatgandakan pahalanya sehingga umat berlomba-lomba dalam kebaikan. Ini tidak salah karena memang begitu anjuran dalam Islam. Ironisnya, ketika Ramadhan pergi, pelan-pelan kegiatan amalan kebajikan pun ikut pergi. Misalnya, yang biasanya shalat berjamaah di masjid tak tampak lagi kegiatan berjamaah di masjid, yang biasanya mengaji al-Qur’an tak terlihat membaca lagi, dan lain sebagainya. Ini sudah jamak terjadi.
Begitu pula para politisi atau pejabat negara. Saat Ramadhan hadir, mendadak religius. Paket bingkisan diberikan kepada mereka yang berpuasa dan sedekah kepada anak yatim me ningkat. Namun seiring Ramadhan pergi, perilaku itu ikut pergi. Seolah agama dan politik terpisah. Padahal, agama dan politik sejatinya satu nafas dan saling mengisi. Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam ceramahnya mengatakan, bicara politik memang tak dapat dipisahkan dari Islam. Karena itu, umat Islam tidak hanya perlu memperhatikan ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Mereka juga harus paham dan melek tentang politik.
Ustadz lulusan Maroko ini menjelaskan pentingnya kepemimpinan dan politik Islam. “Kalau orang Islam tidak peduli pada politik, maka akan dipimpin oleh politisi yang tidak peduli kepada Islam. Agama dan politik merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan,” tegas Ustadz Abdul Somad.
Allah SWT menurunkan Islam ini sebagai way of life, bagaimana menjalani hidup, baik itu politik, menikah, maupun praktik sosial, semua dengan panduan dari al-Qur’an dan Sunnah. Ia menegaskan bahwa tidak benar jika Islam hanya mengatur soal ibadah individual, seperti shalat dan puasa. Da’i asal Riau itu menekankan bahwa Islam juga mengatur politik. Memisahkan agama dari politik sama dengan memisahkan agama dari jual-beli, pernikahan. Itu bagian dari kehidupan dan agama datang mengatur kehidupan. “Jadi, kalau agama hanya cerita tentang mati, tentang kubur, untuk apa fungsi agama,” tegasnya.
Ustadz Somad menilai saat ini umat Islam di Indonesia sudah melek politik. Dia pun berharap Indonesia ke depan mendapat pemimpin yang lebih baik. “Mudah-mudahan Indonesia ke depan punya pemimpin yang amanah karena umat Islam sudah paham dengan politik,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan bahwa agama tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan politik jangka pendek semata. Agama harus menjadi landasan yang positif untuk memajukan bangsa dan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Hidayat mengatakan bahwa agama memiliki posisi penting di negara Indonesia karena sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, agama harus digunakan dengan sebaik-baiknya agar panggung politik Indonesia memiliki nilai luhur, bukan sebaliknya.
Hidayat mengatakan, agama perlu dijadikan rujukan dalam politik untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Pun demikian agama bisa menjadi referensi untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada. Agama pun perlu digunakan untuk mempererat persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. Jadi, agama bisa menjadi solusi politik dalam banyak aspek. Jika dipolitisasi, maka agama akan jadi mainan dan tidak dihargai. “Politisasi agama itu terjadi ketika agama dijadikan mainan politik yang ujungnya agama tidak dihormati, tetapi menjadi bulan-bulanan politik. Agama jadi mainan, ini harus dihindari,” ujarnya.
Hidayat Nur Wahid mengungkapkan, politisasi agama dilakukan oleh kelompok sekuler untuk kepentingan politik, seolah-olah menjadi agamis. Politisasi agama itu dilakukan oleh pihak-pihak yang melaksanakan ajaran agama untuk tujuan jangka pendek dan kepentingan politik.
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin me ngatakan bahwa politik dan Islam tidak bisa dipisahkan karena agama juga memerlukan politik. Politik Islam memerlukan wawasan majemuk yang plural dan mengayomi. “Dalam Islam, politik dan agama tak terpisahkan. Ulama agama perlu memadukan politik, ada simbiosis,” ujarnya.
Tidak ada masalah jika agama dikaitkan dengan politik. Asalkan, kaitan itu pada taraf substantif, bukan hanya formalistik dan legalistik. Pada level substantif, agama berperan menyalurkan etika agama, itu yang perlu dimasukkan dalam politik. Di Indonesia sendiri, doktrin agama masih banyak dipegang teguh masyarakat.
Bahkan, Pancasila memberikan tempat terhormat bagi agama. Jadi, bisa disimpulkan tidak ada masalah mengaitkan agama dengan politik. “Politik tidak bisa jauh dari agama. Jika sebaliknya, politik akan liar. Pancasila sendiri memberikan tempat terhormat bagi agama. Tidak masalah agama dikaitkan dengan politik, tapi pada tingkat substansi,” jelasnya.
Politisasi agama itu dilarang kalau digunakan untuk politik yang salah. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua kaitan agama dengan politik itu bisa disebut politisasi. “Politisasi agama itu kalau digunakan terhadap politik yang salah. Tapi tidak semua kaitan agama dengan politik itu politisasi,” pungkasnya.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Natsir, puasa harus dijadikan sebagai kekuatan rohani dan moral untuk mengedepankan politik mulia, santun, damai, rukun, dan menjunjung tinggi kebaikan. Politik harus dijauhkan dari permusuhan, perpecahan, kegaduhan, korupsi, gratifikasi, politik uang, dan hal-hal yang merugikan bangsa.
Haedar mengatakan bahwa radikalisme sebenarnya juga ada dalam berpolitik. Sekali politik itu radikal dan ekstrem, maka nanti akan membuahkan konflik keras sesama warga bangsa. “Memolitisasi agama, apalagi dengan pendekatan-pendekatan yang ekstrem dan radikal itu termasuk politisi sumbu pendek,” katanya.
Bulan Ramadhan ini seharusnya bisa menjadi peredam rohani bagi kita semua. “Jangan menggunakan agama dan apapun dalam politisasi yang membuat rakyat tidak cerdas, membuat politik uang, serta melakukan pilihan politik tidak berdasar pada pilihan rasional dan bertanggung jawab,” kata Haedar Nashir.
Ia berharap Ramadhan menjadi momentum untuk transformasi rohani sekaligus menjadi kekuatan penyeimbang sikap dan menghadapi tahun politik. “Kontestasi politik agar mengedepankan nilai-nilai etika keadaban, kedamaian, dan tidak memecah belah bangsa,” katanya. []