Apa tujuan utama dakwah? Apakah untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah, atau sekadar melontarkan kritik yang menyakitkan hati? Pertanyaan ini semakin relevan setelah insiden ceramah Gus Miftah yang menuai kontroversi karena melibatkan kata-kata yang dianggap merendahkan seorang pedagang es teh. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa dakwah tidak hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang cara kita menjaga martabat dan menghormati orang lain.
Sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab, kita bisa membayangkan seorang pedagang es teh yang berjuang setiap hari di bawah terik matahari. Bagi mereka, pekerjaan ini adalah jalan untuk menyambung hidup, mungkin juga untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Ketika seseorang yang dihormati, seperti tokoh agama, melontarkan kritik kasar terhadap profesi ini, apa yang terjadi? Rasa malu, hina, bahkan kehilangan semangat hidup mungkin menjadi dampak yang dirasakan.
Peristiwa ini ibarat gelas es teh yang tumpah di tengah panasnya terik. Bukan hanya rasa manis yang hilang, tetapi juga kesegaran dakwah yang seharusnya membawa kesejukan. Kejadian ini menjadi cermin bahwa dalam dakwah, cara berbicara sama pentingnya dengan isi pesan yang disampaikan.
Insiden ini mengangkat isu fundamental tentang evaluasi kegiatan dakwah, khususnya dalam konteks masyarakat modern. Dakwah tidak lagi sekadar berfokus pada apa yang benar, tetapi bagaimana menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar.
Sebuah hadis menyebutkan: “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu pahit.” Namun, pahitnya kebenaran tidak harus diiringi dengan bahasa yang melukai. Kritik boleh, tetapi penghinaan? Itu melanggar adab yang diajarkan dalam Islam.
Dalam era media sosial, di mana setiap ucapan langsung tersebar luas, seorang da’i memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga tutur kata. Apa yang terjadi dalam satu ceramah bisa menjadi viral, menciptakan dampak yang lebih besar daripada yang dibayangkan. Insiden ini menjadi contoh nyata bahwa dakwah yang tidak berhikmah bisa merugikan lebih banyak pihak daripada yang ingin dibangun.
Data menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menghormati tokoh agama sebagai panutan moral. Namun, ketika panutan tersebut melukai hati umat, kepercayaan itu mulai terkikis. Sebuah survei oleh Pew Research Center mengungkapkan bahwa 63% masyarakat Indonesia mengharapkan tokoh agama menjadi teladan dalam berbicara dan bertindak. Insiden seperti ini menunjukkan perlunya refleksi mendalam dari setiap da’i tentang bagaimana mereka menjalankan tugas mulianya.
Gus Miftah sendiri, dengan kapasitas dan pengaruhnya, memiliki peluang besar untuk menjadi contoh transformasi dalam dakwah. Mengakui kesalahan dan belajar darinya adalah langkah pertama untuk memperbaiki diri. Sebagai tokoh publik, ia dapat menginspirasi dengan menunjukkan bahwa setiap kesalahan adalah peluang untuk belajar dan memperbaiki cara berdakwah.
Dalam salah satu kutipan inspiratifnya, Buya Hamka berkata: “Seorang da’i sejati adalah dia yang menanam hikmah di hati umatnya, bukan kemarahan.” Dakwah adalah tentang menciptakan keberkahan, bukan perpecahan. Jika setiap da’i memahami filosofi ini, maka program dakwah akan menjadi lebih efektif dan bermakna.
Pesantren, sebagai lembaga yang mencetak da’i, juga perlu melakukan evaluasi terhadap kurikulumnya. Pelajaran adab dan komunikasi publik harus menjadi bagian integral dari pendidikan. Dakwah tidak hanya soal isi, tetapi juga seni menyampaikan pesan dengan cara yang memuliakan pendengar.
Kita semua, baik sebagai individu maupun institusi, perlu belajar dari peristiwa ini. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk tidak hanya menilai kesalahan, tetapi juga mendorong perbaikan.
Evaluasi program dakwah bukan hanya tugas para da’i, tetapi juga tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan bahwa dakwah tetap menjadi cahaya, bukan bayangan yang membayangi umat.
Akhirnya, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah dakwah kita sudah mencerminkan kasih sayang, penghormatan, dan kebijaksanaan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW?
Jika belum, inilah saatnya untuk berubah. Mari jadikan setiap kata yang kita ucapkan sebagai bentuk cinta, setiap kritik sebagai nasihat, dan setiap dakwah sebagai keberkahan. Sebab, seperti gelas es teh yang manis, dakwah yang hikmah adalah yang menyegarkan jiwa, bukan yang menumpahkannya. []