Yogjakarta, Gontornews — Sosok bernama KH Fakhruddin tak bisa lepas dari catatan perjalanan dunia perhajian Indonesia, terutama ketika penyelenggaraan ibadah haji masih berada di bawah cengkeraman Hindia Belanda.
Fakhruddin lahir di Yogyakarta tahun 1890, ia bahkan didaulat sebagai perintis berdirinya Badan Penolong Haji Indonesia. Dialah sosok yang pernah memperjuangkan perbaikan penyelenggaraan haji kepada Kerajaan Arab Saudi, jauh sebelum kelahiran Kementerian Agama.
Fakhruddin yang masa kecilnya bernama Muhammad Jazuli ini berkiprah dalam perhajian karena tak lepas dari keaktifannya di organisasi Muhammadiyah. Pada 1921 ia diutus Muhammadiyah ke Mekkah untuk meneliti nasib jamaah haji Indonesia.
Ini menyusul beredarnya kabar bahwa para jamaah tersebut kerap mendapat perlakuan yang kurang baik dari pejabat-pejabat di Mekkah. Bersama sejumlah sahabat sekembalinya dari Tanah Suci, antara lain, Haji Soedjak, ia mendirikan pembentukan Badan Penolong Haji.
Saat menjalankan tugasnya, dia berkesempatan menghadap pucuk pimpinan Kerajaaan Arab Saudi, Raja Syarif Husein, untuk membicarakan perbaikan sistem perjalanan jamaah haji Indonesia. Ia juga berperan besar dalam perintisan pembentukan Persaoedaraan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI) Algemeene Vergadering X di Yogyakarta. Upayanya ini dinilai sebagai langkah besar dalam meletakkan fondasi tata kelola peningkatan kualitas penyelenggaran haji di Indonesia.
Selain dikenal aktif di dunia perhajian, figur yang juga pernah aktif di Budi Utomo dan Sarekat Islam ini merupakan sosok pendidik andal. Ia banyak berperan dalam pembinaan generasi muda sebagai calon pemimpin di masa depan.
Selama aktif di organisasi Muhammadiyah, ia pernah jadi pengurus bidang dakwah, taman pusaka, dan pengajaran. Kesempatan ini ia gunakan untuk membina calon-calon pemimpin dan generasi muda Muhammadiyah saat itu.
Semasa kecilnya Muhammad Jazuli tidak pernah mendapatkan pendidikan formal layaknya di sekolah formal. Namun, bukan berarti ia tidak memiliki pengetahuan, justru ia dikenal sebagai pribadi yang serba bisa.
Hal itu tidak terlepas dari peran didikan ayahandanya, Haji Hasyim. Dari orang tuanya itulah ia mendapatkan ilmu agama maupun ilmu praktis lain. Ia pun berguru pada para ulama terkenal lain di tanah Jawa.
Menginjak usia remaja, ia kemudian menuntut ilmu ke Mekkah sekaligus melaksanakan haji. Ia belajar agama di Mekkah selama kurang lebih delapan tahun sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Sekembalinya ke Tanah Air, ia mengganti namanya menjadi H Fakhruddin.
Fakhruddin sosok ulama multitalenta. Sisi lain dari pribadinya terungkap bahwa ia juga seorang orator dan penggerak massa. Bersama-sama dengan Suryopranoto, dia pernah menggerakkan demonstrasi buruh perkebunan tebu untuk menuntut hak, kehormatan, dan upah yang wajar. Akibat ulahnya tersebut, dia pernah ditangkap Belanda dan dituntut di pengadilan dengan kewajiban membayar denda sebesar 300 gulden.
Bersama Sutan Mansur, Fakhruddin melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Ia juga pernah menggerakkan pawai umat Islam untuk memprotes kebijakan residen Yogyakarta yang terlalu menganakemaskan misi dan zending Kristen. Aksinya tersebut membuka mata umat Islam terkait jati diri mereka sebagai mayoritas dan ancaman bahaya zending Kristen.
Kiprahnya di kancah internasional jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Dia pernah menjadi utusan wakil umat Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam tingkat dunia.
Di tengah kesibukannya tersebut, ia juga produktif menulis. Ia mengarang sejumlah buku, seperti Pan Islamisme dan Kepentingan Pengajaran Agama. Perhatiannya di dunia media juga tercatat sejarah. Ia adalah sosok penting di balik Majalah Soeara Moehammadijah. Berkat jasanya, majalah ini menjadi media resmi Hoofdbestuur Muhammadiyah di bawah naungan Bagian Pustaka.
Pada 28 Februari 1929 sosok alim ini wafat pada usia yang relatif muda, 39 tahun. Ia dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta. Pada 26 Juni 1964 pemerintah menobatkan gelar kepadanya sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. [Fath]