Jakarta, Gontornews — Rasa syukur terpancar dari wajah Wawan Saputra yang terbebas dari penyanderaan Abu Sayyaf bersama sembilan warga Indonesia kru kapal Brahma 12 di Filipina sejak 28 Maret 2016. Pria asal Kecamatan Manggala, Makassar, Sulawesi Selatan, ini menceritakan pengalamannya selama disandera kelompok Abu Sayyaf.
Sejak 28 Maret, para pembajak yang mengaku kelompok Abu Sayyaf ini menyandera kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batubara saat melintas dari Sungai Puting (Kalsel) menuju Batangas (Filipina selatan). Namun para penyandera ini melepas kapal Brahma 12 dan membawa kapal Anand bersama 10 ABK di dalamnya ke sebuah pulau di Filipina barat daya yang diduga menjadi tempat persembunyian mereka.
“Alhamdulillah, saya tidak menyangka bisa bebas. Kami diberitakan akan bebas sekitar jam 9 pagi (Ahad),†ungkap Wawan dalam perbincangannya di sebuah stasiun televisi swasta, Selasa (3/5) pagi. Para penyandera ini melepas 10 WNI menggunakan perahu kemudian menggunakan truk menuju kediaman Gubernur Sulu (Abdusakur) Totoh Tan (II) pada 1 Mei 2016.
Wawan mengungkapkan, selama di sandera kelompok Abu Sayyaf ia tidur di atas tanah, makan sehari sekali bersama para penyandera. “Kami makan nasi dan mangga, kadang ikan, sepiring berlima,†tutur pria yang bertindak sebagai juru mudi kapal.
Selama penyanderaan, Wawan bersama sembilan kawannya disekap di tempat yang terbuka. Di tempat itu tidak ada sandera lain kecuali hanya 10 WNI yang selalu diawasi oleh 30 orang dengan membawa senjata lengkap. “Kami tidak mengenali mereka karena wajahnya menggunakan topeng,†paparnya.
Setiap malam, ujarnya, para penyandera ini mengajak berpindah tempat untuk menghindari askar (militer) Filipina. Mereka juga jarang berkomunikasi kecuali hanya perintah dan ancaman. “Kami tidak pernah ada konunikasi. Kalau ancaman sering misalnya potong leher atau ultimatum,†ujar pria yang hanya bisa menangis batin saat mendapat perlakuan itu.
Meskipun demikian para penyandera ini tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Wawan mengaku sempat melakukan negosiasi sendiri dengan cara menceritakan bahwa keluarganya khawatir dengan kondisinya. Tapi negosiasi itu tidak membuahkan hasil apapun. “Mereka tetap tidak ada perbedaan,†tuturnya.
Upaya lain juga dilakukan WNI non-Muslim dengan mengaku sebagai muallaf demi keselamatan diri mereka. Lebih lanjut, Wawan menuturkan, para penyandera masih memberikan kesempatan kepada WNI Muslim untuk menjalankan shalat bersama. Terhadap yang non-Muslim, mereka juga memperlakukan hal yang sama. Misalnya, para penyandera memberikan baju dan celana dengan warna yang sama.
“Kalau ada teman yang putus asa kami saling memberi semangat. Kami sempat pesimis, mungkin sampai di sini saja nasib kami,†papar pria yang sebelum berlayar sempat memohon keselamatan kepada Allah SWT ini. [Ahmad Muhajir/Rusdiono Mukri]