Ilmu matematika telah mengajarkan kesederhanaan dalam konteks dimensi kemanusiaan dan ketuhanan. Kesimpulan ini didasarkan pada konteks dimensi kemanusiaan dalam matematika al-Khawārizmī dan matematika modern, yang meliputi aspek sejarah, estetika, dan bahasa.
John Byl menyatakan bahwa banyak kalangan yang berpikir tidak ada koneksi antara matematika dan ketuhanan. Hal ini karena logika, bilangan, dan geometri adalah sama bagi kelompok yang percaya pada Tuhan maupun kelompok yang tidak percaya pada Tuhan (ateis).
Dalam pandangan lainnya, matematika dikatakan memiliki hubungan dengan ketuhanan. Pendapat ini dikatakan oleh Eric Steinhart yang menyatakan bahwa matematika memiliki peranan penting di dalam sains.
Sepenting bagaimana memahami Tuhan melalui penyelidikan ilmiah. Tuhan dapat dipahami, salah satunya, melalui persoalan ketakberhinggaan Tuhan dan matematika dapat digunakan untuk menyusun model tentang ketakberhinggaan Tuhan tersebut. Pernyataan Steinhart itu senada dengan pendapat Christian Tapp yang menjelaskan tentang ketakberhinggaan dalam matematika dan teologi.
Menurut Stanislaw Krajewski, pengaruh teologi pada matematika ditunjukkan dengan adanya metafora teologis dalam matematika. Dengan demikian, sesungguhnya matematika dapat digunakan oleh manusia untuk memahami ketuhanan.
Perdebatan tentang matematika dan ketuhanan ternyata tidak hanya sebatas persoalan internal matematika. Diskusi tentang kaitan matematika dan ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan relasi antara agama dan sains. Kajian mengenai agama dan sains masih penting untuk didiskusikan dewasa ini.
Hal ini ditunjukkan dengan tulisan Robert John Russell (2017) yang menjelaskan kontribusi Ian G. Barbour dalam mengungkap relasi agama dan sains. Memang, pada dasarnya agama dan sains adalah dua bidang yang harus bersinergi dalam kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan Albert Einstein mengenai hubungan antara agama dan sains.
Menurutnya, sains tanpa agama adalah lumpuh dan agama tanpa sains adalah buta (science without religion is lame, religion without science is blind). Bahkan, terbukti tanpa adanya sinergi antara agama dan sains, bom atom yang merupakan hasil penemuan Albert Einstein telah menimbulkan tragedi kemanusiaan ketika dilakukan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada Perang Dunia II tahun 1945.
Menurut Koji Nakamura, tragedi kemanusiaan yang terjadi itu memiliki signifikansi kontemporer dalam upaya menumbuhkan rasa perdamaaian dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, relasi agama dan sains tidak hanya mengkaji persoalan ketuhanan, tetapi juga kemanusiaan (humanity). Selain itu, dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam sains tidak boleh diabaikan begitu saja.
“Matematika mengajarkan kesederhanaan dalam konteks dimensi kemanusiaan dan ketuhanan,” terang Dr Teguh dalam disertasinya. Adapun, kesimpulan ini didasarkan pada konteks dimensi kemanusiaan dalam matematika al-Khawārizmī dan matematika modern, yang meliputi aspek sejarah, estetika, dan bahasa.
Aspek sejarah menjelaskan bahwa terjadi proses penyederhanaan ide-ide matematika, yaitu aljabar. Hal tersebut ditempuh melalui 3 tahap, yaitu retorik (the rhetorical stage) berupa ungkapan pernyataan kalimat sehari-hari, sinkopasi/penyingkatan (the syncopated stage) berupa penggunaan singkatan-singkatan, dan simbolisasi (the symbolic stage) berupa ekspresi ide-ide matematika melalui simbol-simbol abstrak.
Aspek estetika mencerminkan kesederhanaan yang terdapat dalam matematika ditinjau dari prinsip keseimbangan dalam aljabar (al-jabr dan al-muqābalah). Prinsip ini digunakan untuk mencari nilai variabel yang memenuhi suatu persamaan, yang berlaku pula pada matematika modern.
Aspek bahasa mengungkapkan bahwa matematika merupakan bahasa komunikasi yang berlaku secara universal, karena simbol-simbol yang dipahami oleh para matematikawan merupakan hasil kesepakatan secara internasional.
Simbol-simbol digunakan untuk menyederhanakan suatu pernyataan yang biasa diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. “Penyederhanaan dalam bahasa matematika itu berupa nilai (values), sesuatu yang belum diketahui (variables), fungsi (functions), dan ekspresi (expressions),” sambung Teguh, peraih juara 2 Guru Berprestasi SMA Tingkat Kota Depok di tahun 2015 dan tahun 2016.
Ayah dua orang anak ini pun menambahkan bahwa bahasa matematika tidak mengandung unsur emosi maupun afeksi. Sehingga memudahkan proses pembuktian, penurunan rumus-rumus matematika, dan penyelesaian persoalan kontekstual.
Perbedaan matematika al-Khawārizmī dan matematika modern dalam konteks dimensi kemanusiaan adalah ditinjau dari paradigma pengembangan matematika. “Al-Khawārizmī mengembangkan matematika berdasarkan paradigma tauhid, sedangkan matematika dikembangkan berdasarkan paradigma matematika sebagai ratu dan pelayan bagi sains,” ujarnya.
Tauhid ini dapat bermakna kesatuan, kesalingeratan, juga keterpaduan. Paradigma tauhid dalam matematika al-Khawārizmī menunjukkan adanya integrasi antara aspek-aspek kehidupan seorang Muslim dengan agama. “Dengan demikian, semakin bertauhid dalam bermatematika, semakin integratif dalam segenap aspek kehidupan,” lanjut guru Matematika SMAN 9 Depok tersebut.
Konteks dimensi ketuhanan dalam matematika al-Khawārizmī dan matematika modern, yang meliputi aspek ketakberhinggaan dan religiusitas. Kesederhanaan yang diajarkan matematika dalam konteks dimensi ketuhanan ini dijelaskan melalui simbol-simbol matematis dan sikap religiusitas yang berkaitan dengan prinsip-prinsip matematika.
Perbedaannya adalah matematika al-Khawārizmī didasarkan pada paradigma tauhid, sedangkan matematika modern merupakan ilmu pasti yang berparadigma pragmatis. Akan tetapi, keduanya tetap menunjukkan bahwa matematika berhubungan dengan metafisika dan obyek matematika merupakan obyek spiritual.
Suami dari Dr (Cand.) Amri Khoiriyah, SPdSi, MPd ini kembali menerangkan bahwa penelaahan matematika al-Khawārizmī dan matematika modern merupakan bagian dari sebuah rekonstruksi holistik dalam matematika. Rekonstruksi ini ditinjau dari status ontologis matematika yang terletak antara fisika dan metafisika.
Pengkajian matematika yang holistik akan mendorong rasionalitas manusia untuk menerima keberadaan obyek-obyek fisik dan non-fisik. “Hal ini karena matematika merupakan ide abstrak pertama yang mana pengabstraksiannya itu bersumber dari obyek-obyek fisik (konkret),” ungkap Dr Teguh.
Matematika juga berperan sebagai alat untuk memahami ide-ide abstrak dalam filsafat atau metafisika, termasuk ide tentang Tuhan. “Dengan demikian, semakin holistik dalam mengkaji matematika, semakin meningkat keberimanan kepada Tuhan,” pungkas doktor sekaligus penulis buku pendidikan tersebut. Edithya Miranti
Biodata Penulis
Nama Lengkap : Dr Teguh Slamet Wahyudi, SSi, MA, MPd, Mud
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 26 Januari 1981
Pekerjaan : Guru Matematika SMAN 9 Depok
Istri : Dr (Cand.) Amri Khoiriyah, SPdSi, MPd
Riwayat Pendidikan:
- S-1 Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta (Lulus Tahun 2004).
- Akta IV, Universitas Ibn Khaldun Bogor (Lulus Tahun 2005).
- S-2 Pendidikan Matematika dan IPA, Universitas Indraprasta Jakarta (Lulus Tahun 2010).
- S-2 Filsafat Islam, ICAS-Universitas Paramadina Jakarta (Double Degree, Lulus Tahun 2016).
- S-3 Agama dan Sains, SPs, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Lulus Tahun 2017).
Prestasi :
- Juara 2 Lomba Menulis Esai Guru dalam rangka Hari Guru Nasional Tahun 2013, Tingkat Kota Depok.
- Juara 2 Guru Berprestasi SMA Tingkat Kota Depok di tahun 2015 dan tahun 2016.
Karya Tulis :
- Buku Pendidikan: Panggil Saja Aku Ayah (Jakarta: Ufuk Press, 2011).
- Artikel: “Matematika dan Pembentukan Karakter”, Koran Monitor Depok, 2013.
- Mathematical Literacy: Its Urgency and Development At Islamic Education in Indonesia (Makalah seminar internasional pada Conference on Islamic Studies, 9-10 November 2017
Riwayat Organisasi :
- Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Kota Depok (2008-2012, 2012-2016).
- Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP FGII (2016-2020).
- Forum Komunikasi Putra-putri Prajurit dan Putra-putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) (2016 s.d. sekarang).
Forum Ilmiah :
- Pembicara Seminar Internasional pada Conference on Islamic Studies di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 9-10 November 2017
- Pembicara Talkshow Buku Panggil Saja Aku Ayah, Siaran Langsung (Live) di Stasiun Televisi: Metro TV dan TV One (November 2011).