Yogyakarta, Gontornews — Konsumen adalah raja merupakan frase yang telah populer selama berabad-abad. Secara positif frase ini menempatkan kedudukan konsumen yang tinggi, memiliki posisi tawar yang kuat serta terlindungi hak-haknya secara proporsional.
Kondisi ideal demikian menggambarkan bahwa kepentingan konsumen dan pelaku usaha bisa saling seimbang terakomodasi dan tidak saling berbenturan. Sisi negatif yang muncul kemudian, konsumen terlena sehingga perlindungan dirinya akan melonggar. “Tulisan ini akan mengalisis secara hukum bagaimana sebenarnya kedudukan konsumen,” terang Dr Hj Norma Sari.
Urgensi Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dana atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
“Maksud kata orang di sini bukan hanya orang perseorangan sebagai naturlijke persoon, tetapi juga badan hukum sebagai recht person,” jelas dosen International Program of Law and Sharia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Pihak yang berhadapan dengan konsumen adalah pelaku usaha yakni setiap orang perseorangan atau badan usaha. Baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.
“Baik itu sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain,” tambah wanita kelahiran Bantul, 15 Maret 1981 tersebut.
Secara faktual, lanjut Dr Norma, siapapun orang dalam kehidupannya memerlukan barang dana atau jasa untuk digunakan, artinya siapapun orang adalah konsumen.
Pelaku usaha sekalipun pada saat yang sama juga berposisi sebagai konsumen karena sebagai pengguna. Filosofi yang terkandung di dalamnya adalah bahwa melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi diri sendiri.
Mengapa konsumen perlu dilindungi? Selama ini konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan.
Wakil Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia Cabang DIY tahun 2020-2025, ini menegaskan bahwa posisi mereka (konsumen) menjadi rentan untuk disalahgunakan bahkan dieksploitasi.
Kondisi inilah yang menyebabkan beberapa pakar hukum menyatakan kondisi asimetris sebagai dasar perlunya konsep “perlindungan konsumen” bukan perlindungan pelaku usaha. “Bentuk perlindungan hukum salah satunya adalah penegakan hukum,” tukasnya.
Titik Rentan Perlindungan Konsumen
Lawrence Friedman mengemukakan bahwa efektif tidaknya penegakan hukum tergantung pada tiga unsur sistem hukum yakni struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
Ketiganya merupakan kesatuan yang saling berpengaruh pada proses penguatan dan pemajuan hukum perlindungan konsumen. Contoh menarik adalah perlindungan konsumen obat di Indonesia, karena obat secara langsung berhubungan dengan tubuh konsumen.
Upaya untuk melindungi konsumen obat sebagaimana negara lain secara khusus dibentuk lembaga pengawas yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sejak tanggal 1 April 1999 Indonesia juga sudah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif 1 tahun kemudian untuk penyesuaian.
Sebagai umbrella act (undang-undang payung), produk hukum ini mengintegasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen obat pada kerangka umum perlindungan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum cukup melindungi. Celah perlindungan misalnya, sambung dosen Magister Hukum Kesehatan UGM ini, ditemukan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Salah satu asasnya memberikan perlakuan equal but unfair (sama tetapi tidak adil) antara investor luar negeri dengan dalam negeri. Hal ini tidak sejalan dengan cita-cita kesejahteraan dan keadilan dalam UUD 1945.
Pelaku usaha industri obat dalam negeri masuk cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka perlu penguatan dengan tidak dibiarkan bersaing secara bebas.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres tentang Daftar Negatif Investasi) juga mengandung kerawanan.
Perpres ini memberi peluang investor luar negeri menanamkan dananya 100% untuk investasi bahan baku obat yang berdampak pada semakin beratnya persaingan yang akan dialami para investor dalam negeri. Sebagaimana harga bahan baku obat tetap dalam kendali investor asing dan pada akhirnya konsumen yang akan menanggung beban tersebut.
Aspek budaya hukum tampak dengan perilaku konsumen yang enggan untuk mendapat perlindungan secara optimal. Misalnya konsumen cenderung kurang memperhatikan informasi obat dan mudah terpikat dengan iklan berlebihan produk obat.
“Kecenderungan swamedikasi yang dalam rentang waktu lama dan tanpa konsultasi seringkali memperburuk kondisi fisik mereka,” ungkap Dr Norma, peraih Pemuda Muhammadiyah Award sebagai Penggerak Perempuan di Sektor Publik 2017.
Konsumen adalah Raja?
Gambaran ini menempatkan posisi konsumen seringkali lemah dan terlemahkan secara sistem. Lemahnya posisi kosumen tidak selalu didasari kondisi lemahnya posisi ekonomi konsumen.
Konsumen dengan tingkat ekonomi yang menengah atau tinggi sekalipun tetap rawan dari perlakuan tidak adil. Peter Cartwright pakar perlindungan konsumen dari Inggris dalam kajian konsumen keuangan memberi istilah vulnerable konsumen (konsumen rentan).
“Maka, berdasarkan kajian mendalam konsumen obat telah mengklasifikasikan sebagai the most vulnerable consumer (konsumen paling rentan). Kondisi ini jauh dari label mereka adalah raja,” pungkas wakil rektor bidang Sumber Daya Manusia UAD (Universitas Ahmad Dahlan), Yogyakarta itu. [Edithya Miranti]