Di zaman modern seperti sekarang ini, umat manusia sedang menghadapi masalah yang sangat serius. Bila melihat hal-hal yang bersifat material, umat manusia sangat maju. Masalahnya, kemajuan dalam bentuk materi tidak diimbangi dengan kemajuan akhlak. Umat manusia kini sedang mengalami kemerosotan akhlak yang sangat jauh. Kemajuan dalam hal-hal material dan kemunduran dalam hal akhlak berbanding seratus delapan puluh derajat. Melihat realita yang sangat memprihatinkan ini, para ahli kemudian mulai memikirkan solusi untuk mengatasinya. Salah satunya Syed Muhammad Naquib al-Attas. Beliau melihat fenomena ini, khususnya di kalangan umat Islam, sebagai fenomena yang serius di mana manusia kehilangan adab (loss of adab).
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyoroti masalah loss of adab ini sebagai suatu masalah yang sangat serius. Penyebab dari permasalahan ini kekeliruan dan kesalahan terhadadp ilmu. Inilah yang menjadi akar permasalahan. Kesalahan terhadap ilmu merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia. Kesalahan terhadap ilmu tidak disebabkan oleh kejahilan, melainkan ilmu yang dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat yang bermasalah. Ilmu yang hakikatnya untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan, sekarang malah menciptakan kekacauan. Ilmu yang menciptakan kekacauan ini dikarenakan karena Barat dalam masalah epistemologi selalu berangkat dari keraguan. Maka, untuk mencapai kebenaran jalannya dengan mengembangkan keraguan.
Selain itu, cara pandang Barat juga dikotomis, sehingga melahirkan pandangan bahwa ilmu terbagi menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama. Pembagian seperti ini menyebabkan degradasi ilmu agama. Padahal ilmu agama adalah ilmu yang lebih universal karena ia mengatur semua realitas alam. Karena dipisahkan dari ilmu agama, ilmu sains saat ini kehilangan nilai-nilai ketuhanan, atau dengan kata lain sekuler.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, al-Attas menggagas islamisasi sains. Dalam merealisasikan proyek ini, dibutuhkan individu-individu unggul untuk islamisasi sains. Individu yang dimaksud di sini individu yang berpandangan hidup Islam dan memahami konsep-konsep kunci dalam Islam. Jalan yang ditempuh al-Attas untuk melahirkan individu-individu tersebut dengan menggagas konsep ta’dib untuk pendidikan Islam.
Konsep ta’dib yang ditawarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sangat sarat dengan nilai-nilai keislaman. Berbeda dengan Barat yang menawarkan pendidikan karakter. Seakan memberikan solusi, pendidikan karakter ternyata merupakan masalah baru ketika dibawa ke dalam masyarakat Muslim. Masalahnya, pendidikan karakter yang dibawa oleh Barat, menitikberatkan pada kebiasaan baik. Namun, baik dalam pandangan Barat sangatlah dilematis, karena barat menganut paham relativisme. Sehingga segala sesuatu di mata masyarakat barat bersifat relatif, termasuk apa yang dimaksud dengan baik itu sendiri. Setiap orang atau masyarakat, memiliki kriteria baik menurut mereka masing-masing. Pendirian yang seperti ini dikarenakan relativisme yang dianut Barat menafikan eksistensi Tuhan.
Bila ditelisik secara bahasa, ta’dib berasal dari kata adaba yang artinya undangan kepada suatu jamuan. Dalam konsep jamuan ini, orang yang menjamu orang yang mulia dan terhormat. Begitu juga para hadirin yang menghadiri jamuan tersebut merupakan orang-orang yang pantas mendapatkan penghormatan. Adab juga dapat diartikan sebagai mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Ia juga pelaksanaan perbuatan benar dan tepat sebagai lawan dari perbuatan salah dan keliru. Dalam dunia sastra, dikenal juga istilah adab, yaitu ilmu pengetahuan tentang hal-hal indah yang mencegah dari kesalahan. Seseorang yang dalam dirinya tersimpan adab, mencerminkan kebijaksanaan. Perlu ditekankan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri pribadi, atau dengan kata lain menghasilkan manusia yang baik, dapat juga dikatakan insan kamil (manusia yang sempurna).
Penggunaan kata ta’dib juga terdapat dalam hadis Rasulullah SAW: “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”. Artinya: “Tuhanku telah mendidikku, dan aku menjadikan pendidikanku yang terbaik”. Dengan demikian, pendidikan menyerapkan dan menanamkan adab pada manusia. Adab di sini kita artikan sebagai pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan, dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan untuk disiplin pribadi agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranan seseorang yang sesuai dalam pengenalan dan pengakuan.
Kehadiran adab pada diri seseorang dan masyarakat secara keseluruhan mencerminkan keadilan, hilangnya adab berarti hilangnya keadilan. Dari sini dapat kita pahami bahwa tujuan pendidikan tidaklah sesempit apa yang ada pada masyarakat saat ini. Masyarakat saat ini menyamakan pendidikan dengan ta’lim. Artinya, ketika orang tua telah mengantarkan anaknya ke sekolah, maka ia telah menyelenggarakan pendidikan bagi anaknya. Padahal, lebih daripada itu, pendidikan ditujukan agar manusia dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana semestinya.[]