Membicarakan pesantren atau pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sangat penting dan menarik. Khususnya bagi praktisi pendidikan dan pemimpin umat. Dengan membicarakan pendidikan pondok pesantren, baik peran maupun fungsinya, maka kontribusi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dapat diketahui.
Eksistensi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam, serta perannya dalam turut mencerdaskan bangsa, telah diakui masyarakat. Keberhasilan lembaga ini dalam mencetak tokoh-tokoh agama, pejuang bangsa dan tokoh masyarakat, baik di masa pra, pascakemerdekaan maupun zaman sekarang, merupakan bukti nyata bahwa pondok pesantren telah banyak memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa.
Hingga kini, pondok pesantren masih tetap istiqamah dan konsisten melakukan perannya sebagai pusat pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din) dan lembaga dakwah Islamiyah. Dibuktikan dengan peran besar para alumni pondok pesantren yang memang berkemampuan dan memiliki kewajiban moral untuk mendirikan pesantren baru. Dengan model pendidikan yang pernah mereka alami atau sedikit modifikasi mereka sebarkan misi utama pendidikan dan dakwahnya.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang membuat pondok pesantren mampu tetap istiqamah dan konsisten melakukan perannya itu? Secara garis besar, ada tiga hal yang menjadikan pondok pesantren tetap mampu melakukan misi ini. Yaitu nilai, sistem, dan materi pendidikannya.
Aspek pertama, nilai-nilai keislaman. Hakikat pondok pesantren, sebenarnya terletak pada nilai-nilai pondok yang tecermin dalam Jiwa Pondok. Nilai inilah yang akan menentukan falsafah hidup santri. Jiwa pondok pesantren dapat berbeda antara satu pondok pesantren dengan pesantren lainnya.
Di Pondok Modern Gontor, misalnya, ada lima nilai yang lebih populer disebut dengan “Panca Jiwa Pondok”. Yaitu keikhlasan, kesederhanaan, berdikari atau mandiri, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Jiwa inilah yang menjamin kehidupannya. Tanpa jiwa ini, pondok pesantren akan kehilangan identitas diri, meskipun mampu mengadopsi berbagai sistem dan materi pendidikan yang selalu disesuaikan dengan zaman. Ibarat manusia, jiwa ini adalah ruh. Ibarat perbuatan, jiwa ini adalah niat dan bobot keikhlasannya. Dan ibarat shalat, jiwa ini adalah kekhusyu’annya.
Aspek kedua, sistem asrama yang penuh disiplin. Sistem asrama sangat mendukung terciptanya keterpaduan tri pusat pendidikan: pendidikan sekolah (formal), pendidikan keluarga (informal), dan pendidikan masyarakat (nonformal). Dalam kehidupan pesantren, ketiga unsur ini dapat dipadukan. Keluarga mereka ada di dalam kampus yang dikelola oleh orang-orang pesantren sendiri. Sekolah mereka ada di dalam kampus yang dikelola oleh orang-orang pesantren sendiri. Dan masyarakat mereka adalah masyarakat santri. [Bersambung]